“Sudah sering kita ajukan permohonan beasiswa,” lanjut Pak Heru.
“Buat mereka, dan juga buat sekolah ini. Tapi kau tahu sendiri, Danu… siapa yang peduli pada sekolah kecil di pinggiran peta ini? Bahkan pemerintah pun mungkin lupa kita masih ada.”
Aku menelan ludah. Pahit. Lebih pahit dari kopi yang biasa kuteguk saat pagi.
Bangunan sekolah ini memang sudah terlalu renta.
Lantai berlubang, tembok berjamur, dan atap... kadang memekik sendiri ketika angin datang terlalu kencang.
Semua laporan sudah diketik, semua berkas sudah dikirim, semua harapan sudah ditulis. Tapi entah kenapa, selalu kandas di meja entah siapa.
Pak Heru melanjutkan dengan suara pelan, “Kalau terus dibiarkan, ini bisa berbahaya. Aku takut... suatu hari nanti kita bakal menyesal.”
Aku terdiam. Lama. Dalam hatiku, sebuah janji mulai tumbuh.
Bukan janji untuk memperbaiki segalanya—karena aku tahu, aku bukan siapa-siapa. Tapi setidaknya, aku ingin jadi saksi.