Aku peluk mereka semua. Tanganku tak cukup. Tapi aku ingin menjadi selimut bagi seluruh ketakutan mereka.
Wajah mereka pucat, mata membesar, beberapa memanggil ibunya dalam panik.
Seorang anak menggenggam tanganku sambil bertanya, “Pak... kalau tadi kita nggak keluar... kita mati ya, Pak?”
Dan aku tak bisa menjawab. Karena di benakku, jawaban itu sudah menjerit lebih dulu.
Guru-guru lain datang tergesa. Murid-murid dari kelas sebelah ikut berlari ke arah kami.
Ada yang menangis. Ada yang hanya bisa menatap reruntuhan dengan tatapan kosong—tatapan anak-anak yang baru saja mengenal rasa nyaris kehilangan.
Sekolah yang Hampir Menjadi Kuburan
Bangunan itu kini tak lagi bisa disebut kelas. Ia seperti luka terbuka yang menganga,
menunjukkan isi perutnya—kayu lapuk, genteng pecah, dan serpihan kapur yang patah di tengah mimpi.