Di dalam kantor desa, ruangan itu terasa lebih seperti ruang pamer kekuasaan daripada tempat pelayanan masyarakat.
Ada kulkas kecil di pojok, pendingin ruangan yang berdengung, dan lukisan dirinya sendiri tergantung di dinding, besar.
Pak Cipto duduk. Kursinya empuk, putarannya tenang. Lalu ia mulai bercerita—bukan tentang sekolah, tapi tentang dirinya.
Tentang sawah yang luas, kontrakan di kota, dan dua unit mobil yang belum lunas tapi sudah berani dipamerkan.
Aku mendengarkan, bukan karena tertarik… tapi karena tahu, terkadang kekuasaan hanya bisa ditaklukkan dengan kesabaran.
Lalu giliranku bicara. Kujelaskan semuanya: atap yang roboh, papan tulis yang sudah seperti lantai, anak-anak yang belajar sambil memegang debu.
Kupaparkan semuanya, dengan suara pelan tapi jelas.