"Selamat, Bu Pelita. Anda telah hamil tiga Minggu. Oh iya, di mana suaminya? Saya ingin memberikan resep vitamin, dan pereda rasa mual di trimester awal."
“Ha-hamil?” ulang gelagap Pelita dengan wajah panas dingin, yang tanpa ragu diangguki oleh sang dokter.
"Benar, Bu Pelita. Ibu hamil."
Sebuah pernyataan yang memukul telak Pelita, sebagai perempuan yang baru saja menginjak usia dua puluh dua tahun.
Ia sekuat tenaga melengkungkan garis bibir yang nyaris tak terlihat, hanya demi menyadarkan dirinya, jika apa yang Pelita dengar bukanlah sebuah mimpi.
Gulungan gelombang aneh dalam perut, kian menekan keterkejutan Pelita. Apa ini yang dinamakan, morning sickness yang sering dialami ibu muda ... termasuk Pelita?
Pelita harusnya bahagia, tetapi perempuan itu justru diam-diam meremas benci pada perutnya yang masih datar.
Hamil? Lelucon apa lagi ini.
Pelita baru saja menikah, dan tak lucu jika usia perkawinan yang baru menginjak satu hari, ia telah dinyatakan hamil.
Hasil dari laboratorium buru-buru dimasukkan ke tas, saat mendengar ketukan pintu teratur dari luar, pun memecahkan keheningan antara Pelita dan sang dokter.
Pintu ruang rawat terbuka menampilkan wajah tampan Dewa, sang suami.
Dia tampak tersenyum simpul sembari menyembulkan kepala di celah pintu, hingga izin untuk masuk diberikan oleh sang dokter.
"Sayang, sudah belum? Selamat siang, Dok."
Ya Tuhan itu benar suara Dewa! Pelita menjerit dalam hati.
"Dew-Dewa ...." Pelita menjawab gelagap, sembari menoleh ke belakang.
Senyum dokter terukir lembut, dengan sedikit mengangguk pada Dewa, yang telah berdiri di samping kursi yang diduduki Pelita.
Sang dokter sedikit melirik ke arah Pelita, dia menebak keresahan yang tergambar di wajah perempuan muda di depannya, mungkin karena hamil di tengah kekacauan negeri ini.
Begitu banyak penjarahan yang terjadi di beberapa jalan, hingga tindakan anarkis membakar banyak toko.
Ini memang tidak mudah bagi pasangan pengantin muda itu, pikir sang dokter.
"Anda suami Bu Pelita?" tanya Bu Dokter pada Dewa, membuat pupil mata Pelita melebar, "ini resep obat yang harus ditebus untuk Bu Pelita." Lanjutnya, mendorong secarik kertas berisi tulisan tangan.
Tangan Dewa hendak terulur, tetapi dengan cepat Pelita mengambil sepotong kertas tersebut.
"Biar saya saja, Dok. Suami saya tidak terlalu paham tentang obat seperti ini. Terima kasih atas waktunya. Saya dan suami saya, permisi dulu. Ayo, Kak Dewa!"
"Iya, Bu. Hati-hati."
Lengan Dewa merangkul mesra bahu kecil Pelita, saat perempuan itu telah berdiri di samping sang suami.
Lelaki itu terlihat mengangguk untuk terakhir kali pada sang dokter, sebelum mereka mengayun langkah keluar, lantas beriringan berjalan di koridor rumah sakit.
"Apa hasilnya tadi? Beneran masuk angin gara-gara acara nikahan kita?" tanya Dewa dengan wajah memiring, seakan ingin menangkap ekspresi aneh di wajah sang istri sejak di perjalanan sebelum ke rumah sakit.
Pelita belum menjawab.
Ketakutan yang sudah ia sembunyikan sebelum acara pernikahan mereka, kini menjadi bomerang untuk Pelita.