“Lho, kenapa tas bajuku ada di ruang tengah? Ada apa ini?” Pelita bertanya-tanya dalam hati. Ia sungguh bingung.
Tubuh perempuan itu mendadak menegang, saat pandangannya menyebar ke seluruh inci ruang tamu sederhana milik sang mertua.
Pelita seperti tengah mencari kunci dari kebingungannya saat ini, serta keheningan yang terasa menikam dalam senyap.
Tenaga Pelita seperti direnggut paksa, saat kaki perempuan itu berhasil mengayun kian dalam. Dan, ia melihat sosok Bu Yanti, sang mertua.
Bu Yanti terduduk seorang diri di sofa.
Tiba-tiba muncul pertanyaan memutar di benak Pelita.
Apa sebelum Pelita pergi ke rumah orang tuanya bersama Dewa tadi, ia sempat tak sengaja lupa mengerjakan pekerjaan rumah, sehingga membuat sang ibu mertua kesal?
Atau justru, ada perkataan Pelita yang membuat sang mertua tersinggung?
“Pelita sudah pulang, Bu.” Itu bukan suara Pelita, melainkan Bayu—sang ayah mertua, seperti memberi informasi tersirat.
Pak Bayu tengah berjalan dari arah kamar, lantas kian mendekati sang istri.
Dan entah kenapa, mendengar suara sang ayah mertua membuat jantung Pelita mendadak berdetak begitu kencang.
Ada apa ini?
“Assalamualaikum ... Bu, Pak. Lita pulang. Kak Dewa masih di depan, lagi markirin motor.” Inilah kebiasaan Pelita, setelah ia resmi dipersunting Dewa Mahendra.
Seminggu lalu, selepas pulang dari rumah sakit, Dewa sukses meyakinkan Pelita untuk tak pulang ke rumah keluarga kandungnya.
Dan tak menganggap serius keinginan Pelita untuk berpisah. Sehingga Pelita lagi-lagi tak berdaya, dan tenggelam dalam kebohongan kian dalam.
“Duduk kamu.” Suara Bu Yanti terdengar dingin, tak seperti biasanya yang begitu hangat menyambut Pelita, “Ibu, ingin bicara denganmu.”
Pelita mengangguk kecil, meski gerakan kepala perempuan cantik itu tampaknya tak terlihat, atau memang sengaja tak dilihat oleh sang mertua.
Pelita hanya memiliki satu pilihan, yaitu pasrah. Langkah perempuan itu terayun berat, semakin menuju ke sofa seberang.
Udara malam ini terasa berbeda, begitu dingin dan menusuk kulit. Andai Pelita tak memakai hoodie yang dipilihkan Dewa, mungkin Pelita akan merapatkan tangan dan kakinya detik ini.
Kini pandangan sang ibu mertua terangkat, melurus tajam ke arah Pelita hingga membuat perempuan itu terhenyak.
“Kamu itu sebenarnya siapa? Banyak orang yang datang ke sini, cuma gara-gara tanya tentang kamu,” todong Bu Yanti.
Dia seperti sedang menginterogasi seorang pencuri, dan Pelita masih tak mengerti arah dari pertanyaan sang mertua.
“Li-Lita ....” Pelita kesulitan merangkai kalimat, padahal ia hanya ingin menjelaskan tentang dirinya yang merupakan putri tunggal dari orang tua penjual sembako.
Namun, kenapa hal semudah itu terasa begitu sulit dan ... menakutkan?
Terdengar tarikan napas kasar dari Bu Yanti, setelah Pelita melirik tangan sang ayah mertua menyentuh lembut sebelah bahu wanita separuh baya tersebut.