"Dua puluh ribu," ucap seorang lelaki yang mengantarku ke sekolah. Membuat diri mendelikan mata, merasa tidak suka dengan kisaran ongkos yang jauh dari biasanya.
Menyesal rasanya sudah tidak berguna, andai saja tadi aku menunggu ayah, uang jajan pastilah akan selamat. Dengan sedikit kesal aku berjalan memasuki gerbang, menendang beberapa kerikil sebagai pelampiasan.
Koridor sekolah terlihat masih sepi, sepertinya baru ada sebagian murid yang datang. Dengan santai aku berjalan sambil melihat sekeliling. Ada beberapa anak laki-laki di lapangan, mereka bermain basket sambil menunggu bel masuk berbunyi.
Di sisi sebelah kanan lapangan, ada beberapa anak perempuan yang tengah mengobrol ria sambil tertawa bercanda bersama. Ada juga perkumpulan beberapa orang yang tengah mengerjakan PR atau sekedar menyalin.
"Ah … kepagian 'kan. Ini sih judulnya kesel berjilid-jilid," ucapku menggerutu sepanjang jalan.
Brugh!
Seseorang menabrakku tiba-tiba, membuat dua buku paket yang tengah kupeluk berhambur ke lantai. Lengkap sudah kekesalan ini.
"Maaf!" Orang itu tersenyum dengan raut wajah yang sulit kuartikan, terlihat senang tapi sorot matanya memperlihatkan hal yang lain.
Dia mulai mengambil buku-buku yang tergeletak di lantai, kemudian menyerahkannya padaku. Membuat diri yang saat itu tengah mematung sedikit tersentak karena kaget.
"Eeh … tidak apa-apa," ucapku seraya mengambil buku dan kembali memeluknya. 'Siapa laki-laki jangkung ini?' batin berbisik sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali berjalan ke ruang kelas.
Dia sempat memanggil. Namun, aku memilih pergi enggan meladeni orang baru. Ada sedikit rasa kesal sebenarnya, menurut perkiraan orang itu sengaja menabrakku. Karena sedari tadi, tak ada siapa pun di koridor. Hanya aku. Lalu, tiba-tiba dia muncul dan terjadilah. Seolah dia telah menunggu dan mempersiapkan semuanya. Tapi, untuk apa?
"Aah … menyebalkan!" Aku menaruh tas serta buku di atas meja kemudian menghempas tubuh sedikit kasar ke atas kursi. Ruang kelas terlihat masih kosong, mungkin karena masih pagi. Bahkan, Yuni pun belum kelihatan batang hidungnya.
"Wajahmu kenapa?" tanya Yuni yang tiba-tiba saja berada di hadapanku. Membuat wajahnya hampir terlempar buku karena membuatku kaget.
"Apa sekolah masih menerima murid baru?" Alih-alih menjawab pertanyaan, aku lebih memilih untuk mengutarakan tanya yang sedari tadi bersemayam di kepala.
"Maksudmu?" bukannya menjawab, dia malah terlihat bingung. Keningnya mengkerut dengan kedua mata yang menyipit.