Pelukis Gurun Pasir

Republika Penerbit
Chapter #1

Prolog; The Miracle of Holy Land

PAGI ini, banyak orang berdatangan memenuhi Masjidil Haram. Aku baru menyelesaikan tiga balik ibadah sa’i, artinya tinggal empat balik lagi sampai selesai. Mulai kurasakan lapar dan haus, maka aku pun menepi ke pinggir lintasan sa’i untuk meminum air zam-zam yang segar. Benar saja, usai minum, tubuhku kuat kembali dan bisa menyelesaikan rangkaian ibadah umroh dengan baik. Ini adalah umroh keduaku. Tapi kali ini aku sendirian, tidak bersama rombongan TKI seperti umroh pertama kali yang kulakukan pas di hari Idul Fitri dulu. Sengaja aku pergi umroh sendirian, karena aku kangen dengan tanah suci Makkah termasuk Baitullah di dalamnya. Ada semacam magnet kuat yang menarik jiwaku untuk kembali mengunjungi Baitullah tanpa lelah dan bosan. Untung saja Mubarok—majikanku—mengizinkanku. Kali ini sengaja aku tidak memesan kamar hotel seperti dulu, biar lebih murah.

Tubuhku lelah. Aku bersandar ke dinding Masjidil Haram yang menjulang tinggi dan kukuh di dekat pintu As-Salam dengan masih mengenakan kain ihram. Saking lelahnya, aku sampai tertidur di situ dan baru bangun setengah jam kemudian. Perutku kini terasa lapar sekali.

Aku bangkit mencari rumah makan yang terdekat. Ada beberapa rumah makan dan kedai persis di samping kanan-kiri Elap Kindah, sebuah hotel berbintang empat yang tak jauh dari Masjidil Haram. Biasanya harga makanan di situ tidak begitu mahal dan terjangkau oleh para jamaah.

Nasi kebuli khas Timur Tengah yang diracik dengan rempah-rempah sudah tercium dari jarak lima meter sebelum diriku masuk ke rumah makan itu. Satu porsi nasi kebuli dengan sepotong ayam yang kupesan langsung kulahap sampai habis. Namun, malang benar nasibku kali ini. Saat kuperiksa tas pinggang hitam yang kukenakan selama mengerjakan ibadah umroh, resletingnya telah terbuka dan uangku sudah tidak ada.

Aku diam tak percaya. Rupanya ada seseorang yang rajin mengambil uangku dari tas pinggang hitam sewaktu aku ketiduran tadi. Jelas, orang itu hanya mengincar uangku saja, terbukti KTP-ku masih ada padahal berada dalam tas pinggang tersebut. Kuperiksa lagi tas pinggangku itu, tapi uangnya tetap tidak ada. Dalam tas pinggang itu aku hanya menyimpan KTP dan uang. Sedangkan HP kusimpan di tas ransel, karena dilarang membawa HP ke dalam Masjidil Haram.

Kini aku bingung sekali. Mau bayar makan pakai apa? Semua uangku habis tak tersisa, sedangkan nasi kebuli itu sudah ludes kumakan. Aku berkali-kali membaca istighfar, memohon ampun kepada Allah. Aku terus beristighfar dan membayangkan dosa apa yang telah kuperbuat sebelum melaksanakan umroh. Boleh jadi, ini gara-gara ulahku di masa lampau hingga mendapat musibah seperti ini. Dan kini aku memikirkan bagaimana meyakinkan kasir rumah makan bahwa aku tidak bisa membayar karena uangku hilang dicopet orang.

Ada dua kemungkinan jawaban yang akan kuterima: sang kasir dan pemilik rumah makan memaafkanku karena ia percaya bahwa diriku kehilangan uang, sehingga aku tak usah membayar, atau ia akan melaporkanku ke polisi Saudi dengan tuduhan berdusta dan sengaja tak mau bayar. Kulihat sang kasir orang India itu berkali-kali. Wajahnya garang dan hitam, mudah-mudahan hatinya tidak segarang wajahnya, pikirku. Aku berusaha menguatkan diriku, namun tetap saja aku gemetar menghadapinya. Sudah setengah jam lebih aku tidak beranjak dari tempat duduk. Kuakui diriku memang salah tidak melihat tas pinggang hitamku dulu sebelum masuk rumah makan. Tapi, apa boleh buat? Nasi sudah masuk ke perutku dan kini aku mesti mempertanggungjawabkan semuanya.

Setelah mengumpulkan keberanian, kuhampiri kasir orang India itu dengan hati gemetar. Sungguh perasaanku tak enak, sepertinya akan terjadi sesuatu kepadaku. Pertama-tama aku meminta maaf kepadanya, lalu aku pun menjelaskan duduk permasalahan yang sedang kualami.

Benar sekali dugaanku, ia marah dengan suara menggelegar, “Apa? Kamu bilang kamu kecopetan? Jangan bohong kamu!”

Aku berusaha menenangkan diri lalu kujawab, “Ya betul, aku tidak bohong! Aku telah kehilangan uang di dalam tas pinggangku ini sewaktu aku ketiduran di Masjidil Haram...” aku memperlihatkan tas pinggang hitamku padanya.

Kasir itu tidak percaya ucapanku. Semua orang yang berada di rumah makan itu matanya tertuju padaku. Mereka tersenyum sinis, menertawakan, dan seolah ingin menelanku bulat-bulat. Aku pasrah. Sang kasir lalu menelepon si pemilik rumah makan, mengabarkan bahwa ada pengunjung yang tidak mau membayar makanan. Tak lama berselang, datanglah si pemilik. Ia orang Syiria yang bergestur tinggi besar serta berjanggut lebat. Nyaliku semakin ciut menghadapinya. Tinggiku hanya sebatas dadanya, bahkan masih kalah dengan tinggi bahunya. Jika ia memukulku, kurasa badanku akan terpental ke belakang.

“Apa benar kamu tidak mau membayar makanan di rumah makanku ini?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Bukan begitu, Tuan. Sebenarnya, aku tidak bermaksud tidak mau bayar. Namun uangku hilang sewaktu aku ketiduran di Masjidil Haram dan baru sadar setelah aku akan membayar tadi! Aku benar-benar minta maaf, Tuan!”

Tanpa mau mendengarkan alasanku ditambah hasutan dari kasir orang India itu, kain ihramku ditariknya dengan keras seraya tangan kirinya menampar wajahku dengan kuat. Aku hampir terjatuh jika tidak berpegang pada kursi. Pipiku merah dan agak panas karena bekas tamparan itu serta kain ihramku terlepas bagian atasnya. Kepalaku pusing dan pandanganku berkunang-kunang, tapi aku masih bisa menguasai diri. Kini hanya pakaian ihram bagian bawah yang masih kukenakan dan tubuhku kelihatan sampai pusar, setengah bugil.

Aku tidak melawan karena aku tahu ini terjadi di area tanah suci, bahkan hanya beberapa meter dari pelataran Masjidil Haram. Berkata kotor, berdebat, atau bahkan menyakiti orang lain di tanah suci hanya akan mengundang petaka. Banyak orang yang telah membuktikannya. Oleh karenanya, lebih baik aku diam tidak melawan karena posisiku memang salah dan terjepit. Kuambil kain ihramku yang terjatuh ke lantai.

Baru saja aku akan mengambil kain ihramku, orang Syiria itu kembali akan memukul wajahku dengan tangan kanannya. Tapi, kali ini aku berkelit hingga pukulan itu tidak mengena di wajahku. Tentu saja, dia semakin bernafsu karena dikiranya aku tengah mempermainkannya. Namun, sejurus kemudian, kulihat orang Yaman yang tadi duduk di dekatku meloncat dan melerai kami. Ia tinggi besar seperti orang Syria tadi, jadi sementara aku bisa berlindung di balik badannya yang tinggi dan kekar itu.

“Mengapa Anda kasar dan tidak sopan kepadanya?” Orang Yaman melirikku seraya memegang tangan si pemilik rumah makan, “Jika Anda percaya padanya, relakanlah dan anggaplah Anda telah bersedekah. Tapi, jika Anda tidak percaya dan tidak mau rugi, mintalah jaminan padanya bahwa ia akan membayar, bukan dengan cara begini!”

“Ia telah berbohong dan tidak mau bayar!” Orang Syiria itu bersikeras.

“Apakah Anda yakin bahwa ia tidak berbohong? Ingat kawan, ini tanah suci yang sakral, jadi jangan main-main!” ujar orang Yaman menegaskan.

Aku tidak mau ada keributan lagi di rumah makan itu yang melibatkan orang ketiga, karena kulihat orang-orang sudah berkumpul ingin melihat yang sedang terjadi. Maka, aku berkata kepada si pemilik rumah makan, “Sekarang begini saja, aku berjanji akan membayar semua makanan yang telah kuhabiskan tadi. Beri aku tempo sampai malam nanti. Sebagai jaminannya, kuserahkan KTP-ku padamu. Jika sampai malam aku tidak bisa membayar, silakan laporkan aku ke polisi dan aku tidak akan melarikan diri!” Ucapanku itu rupanya bisa diterima oleh si pemilik rumah makan dan disetujui oleh orang Yaman yang membelaku tadi. Sebenarnya, aku juga tidak tahu mengapa aku bisa melontarkan kata-kataku tadi. Itu spontan saja terucap. Aku bahkan tak percaya.

“Bersumpahlah dengan nama Allah!” pinta si pemilik rumah makan yang masih kesal. Ia tidak ingin main-main sekaligus tidak ingin rugi.

Aku pun bersumpah dengan nama Allah, bahwa aku akan membayar dan datang lagi nanti malam ke rumah makan tersebut. Kuserahkan KTP-ku kepada kasir hitam itu. Tak lupa, aku mengucapkan terima kasih kepada orang Yaman yang telah membelaku tadi.

Jika nanti si pemilik rumah makan tidak memberikan KTP-ku dan tetap menahannya kendati utangku telah kubayar, akan kukutuk dia di depan Ka’bah. Ya, seperti kutukan yang pernah diucapkan Nabi Muhammad ketika beliau sedang shalat seorang diri di depan Ka’bah lalu dihina dan diganggu oleh Abu Jahal dan beberapa pejabat teras kaum Quraisy. Tahukah kawan, apa yang terjadi dengan Abu Jahal dan kawan-kawannya itu usai dikutuk oleh Nabi? Mereka semua tewas mengenaskan bergelimpangan pada Perang Badar.

Selanjutnya aku keluar dari rumah makan itu dengan hati merana. Jalanku masih belum stabil karena kepalaku masih pusing bekas tamparan keras si pemilik rumah makan. Aku pergi menuju kamar mandi bawah tanah di sekitar pelataran Masjidil Haram untuk berganti pakaian.

xxx

Usai ganti pakaian, aku kembali masuk ke Masjidilharam. Kini aku mau berdoa di tempat di– kabulkannya semua doa. Aku yakin sekali bahwa pertolongan Allah akan segera turun pada diriku.

Lihat selengkapnya