Pelukis Gurun Pasir

Republika Penerbit
Chapter #2

Oase Satu; "Oemar Bakri"

PAGI ini hujan gerimis menyapa “kota santri” Cianjur. Kulangkahkan kakiku menuju Madrasah Tsanawiyah, tempatku mengajar. Jarak dari rumah ke sekolah tidaklah begitu jauh, jadi aku sudah terbiasa menyusuri jalanan setapak yang biasa dilalui oleh para petani saat pergi ke sawah. Mereka tampak riang gembira walau berjalan tanpa alas kaki, dan terlihat lebih sehat secara fisik tanpa beban pikiran. Ternyata, untuk menjadi orang bahagia itu sederhana. Aku sendiri, di usia yang hampir menginjak kepala tiga, harus berkutat dengan dunia anak-anak. Ini memang sesuai dengan background kuliahku dari Fakultas Tarbiyah atau Pendidikan.

Sesekali terlintas dalam benak bahwa menjadi “Oemar Bakri” itu tidak menjanjikan dari segi finansial; jauh dari kata sejahtera. Dan memang benar, dengan menjadi guru honorer sejak tujuh tahun silam, aku belum mempunyai apa-apa. Bisa dibayangkan, dengan gaji yang hanya 250 – 300 ribu per bulan, memang hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Itu pun kadang harus mengutang dulu bila ada keperluan penting mendadak. Sedangkan rumah masih menempel dengan orangtua.

Aku benar-benar salut pada para guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun bahkan hampir seluruh hidupnya. Mereka hanya dibayar kecil dan kadang dicicil sambil terus menanti keajaiban dari Tuhan. Keadaan mereka tetap seperti itu kendati anak didiknya telah ada yang sudah menjadi pejabat, dosen, dan pengusaha sukses. Mereka hidup dalam kejujuran dan keserderhanaan yang begitu kental dan mendarah daging. Bahkan, aku pernah mendengar ucapan salah seorang dari mereka yang menunjukkan kecintaannya kepada profesi mengajar, “Mendidik itu baru berhenti jika kita sudah mati!” Sebuah ucapan yang mampu membakar semangatku untuk terus mengabdi di dunia pendidikan, baik di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.

Untuk rentang waktu antara tahun 1997–2004, ketika aku masih terlibat di dunia pendidikan, kondisi para guru honorer memprihatinkan sekali. Banyak di antara mereka yang secara materi miskin, tapi kaya hati. Hingga ada semacam anekdot dari orang tua dulu, tepatnya sebuah ancaman untuk anak perempuannya, “Nak, hidup itu harus nurut sama orangtua, jangan jadi orang baragajul nanti bisa dikawinkan sama guru.” Sebuah kalimat ancaman tersebut ditujukan pada anak perempuan nakal dan susah diatur. Bukan tanpa alasan ancaman itu keluar, karena dengan ancaman itu,

3 biasanya si anak akan ketakutan bila mempunyai suami seorang guru. Ketakutan itu karena si anak mengetahui bahwa dia akan jatuh ke dalam jurang kemiskinan! Jadi, dahulu guru itu bukan saja sebuah profesi yang amat mulia, tapi juga sebuah profesi “mengerikan”. Itu berlaku bagi guru honorer sepertiku, beda dengan guru PNS yang punya gaji dan tunjangan tetap tiap bulan serta bisa menikmati gaji pensiun di usia tua usai berhenti kerja.

Sebenarnya, bisa saja nasib ini berubah kalau aku mau merogoh kocek dalam jumlah besar meski harus mengutang dulu, saat ada tes CPNS, seperti yang dilakukan oleh sebagian besar kawanku. Tapi, niat itu kubuang jauh-jauh ke lembah ngarai. “Aku masih punya harga diri!” begitu kata hatiku saat itu. Pesan Ayah bahwa aku harus jujur dan jangan menyuap masih terngiang jelas.

“Nggak jadi PNS juga nggak apa-apa, jangan takut! Selama masih ada ayah-ibumu, kamu tidak akan pernah kelaparan, Pras!”

Itu kata-kata motivasi dari Ayah ketika aku berkali-kali gagal dalam tes CPNS. Bukan soal tidak mampu, tapi soal etika dan akhlak yang telah hilang dari masyarakat Indonesia. Bukan soal takut tidak menjadi PNS, tapi soal ketidaksportifan dan ketidakjujuran pihak penyelenggara. Kalau perekrutannya fair, jujur, dan terbuka, tidak lulus pun tidak jadi soal, namanya juga bersaing pasti ada yang kalah dan menang.

Ada kejadian menarik dan lucu ketika aku mendaftar CPNS. Tahun 2000 silam, Kabupaten Cianjur memerlukan seorang guru Bahasa Arab. Aku yang sudah siap mendaftar di Depag, ditolak mentah-mentah oleh panitia penerimaan tes. Tentu saja aku protes dengan menunjukkan surat edaran dari Kanwil. Tapi, tetap saja tidak bisa mendaftar. Usut punya usut, ternyata jatah untuk guru Bahasa Arab itu sudah diisi oleh teman kuliahku sendiri, seorang perempuan. Dia punya channel di Depag dan sudah menyerahkan sejumlah uang, hingga panitia berani mengatakan tidak ada formatur untuk guru Bahasa Arab di Kabupaten Cianjur. Memalukan! Parahnya, aku tahu betul kualitas kemampuan temanku itu, karena aku sendiri yang menulis skripsinya. Bahkan, karena dia tidak bisa Bahasa Arab sama sekali, ia menyuruhku menerjemahkan buku paket Bahasa Arab dari kelas tujuh hingga kelas sembilan. Sebuah potret buram seorang “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” di negeri ini.

Mengapa mereka tidak menempuh jalan benar, maslahat, dan halal? Padahal cara seperti itu bisa dilakukan. Contohnya adalah adik perempuanku yang bungsu. Ia ikut beberapa kali tes tapi belum juga berhasil. Lalu, tahun 2014 ikut tes lagi. Ia bermujahadah kepada Allah dengan rajin Tahajud dan Dhuha serta menyedekahkan seluruh mas kawinnya kepada fakir miskin. Tak lupa, ia minta doa kepada para kiai dan orangtua. Hasilnya? Di luar dugaan semua orang! Ia lulus tanpa harus mengeluarkan biaya siluman sedikit pun.

Rahasia di balik kesuksesannya hanyalah memasrahkan sepenuhnya kepada Allah seraya membaca shalawat setiap akan menjawab soal-soal yang jumlahnya ratusan itu. Itulah keajaiban yang penuh keberkahan!

Lihat selengkapnya