PENDIDIKAN adalah tanggung jawab pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Tidak bisa hanya menyandar- kan tanggung jawab ini kepada pemerintah saja, misal- nya. Harus ada keharmonisan yang terjalin antara ketiga elemen ini. Orangtua masuk ke dalam masyarakat yang semestinya berperan aktif dalam mencapai tujuan pen- didikan itu sendiri. Tapi, kenyataannya mereka sering salah kaprah, misalnya ketika terjadi tawuran antar pela- jar, yang disalahkan selalu guru yang mengajar di seko- lah, padahal orangtua dan masyarakat juga bertanggung jawab.
Dulu, aku berpikir negara kita kalah bersaing dalam hal kualitas pendidikan yang salah satunya alasannya adalah karena gaji guru-guru di Indonesia rendah sekali.
Oleh karenanya, mereka tidak konsen dalam mengajar. Boro-boro bisa mengajar dengan baik, karena pikirannya masih memikirkan utang dan kebutuhan sehari-hari.
Tidak sedikit di antara mereka yang mencari nafkah tambahan untuk keperluan sehari-hari di luar jam mengajar. Apalagi untuk guru honorer sepertiku yang gajinya hanya cukup untuk dua tiga hari saja. Untuk menambah penghasilan di luar jam mengajar, mereka banyak yang ngojek, jualan kecil-kecilan, atau bahkan ada yang menjadi pemulung. Ngeri memang nasib guru di negeri ini.
Mereka para guru, terutama guru PNS, akhirnya demo besar-besaran di tiap daerah hingga nasional menuntut kenaikan gaji. Pemerintah di era Gusdur pun meresponnya. Bahkan, tidak hanya itu, alokasi dana pendidikan dalam APBN sekarang besar sekali, mencapai 20% dari total anggaran. Namun tetap saja, kualitas pendidikan masih jalan di tempat dan banyak peserta didik yang tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, kendati sudah ada program BOS, BSM, sertifikasi guru, dan sebagainya. Rupanya, permasalahan pendidikan di Indonesia ini kompleks sekali, tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut pandang saja.
Pernah suatu ketika aku mengawas UN di salah satu MTs. swasta di Cianjur. Di sekolah ini, “tim sukses” yang dibentuk secara vulgar memberikan kunci jawaban langsung kepada para peserta didik yang sedang mengikuti UN. Di sekolah ini juga, tahun berikutnya, aku menemukan fakta mencengangkan ketika mengawas di salah satu ruangan. Ruangan ini merupakan ruangan TU yang disulap menjadi ruang UN. Ada satu komputer di atas meja. Jam 07.30 anak-anak masuk dan mulai mengerjakan soal, tapi jam 08.15 semua anak terlihat sudah santai dan telah selesai mengerjakan semua soal, padahal waktu yang tersisa masih satu jam seperempat lagi.