PAGI ini dinginnya luar biasa, menembus lapisan kulitku paling dalam. Baru kali ini aku merasakan ditusuk hawa dingin yang hebat, menggigil! Kawanku, Misbah, terkekeh-kekeh melihatku memakai kaos dan celana tiga lapis plus jaket tebal, ditambah kaos kaki, sepatu, sarung tangan, dan topi kupluk. Memang, suhu di Zulfi mencapai 17 derajat celcius. Suatu keadaan cuaca yang bagiku cukup ekstrim bila dibandingkan dengan Indonesia yang beriklim tropis.
Baru tadi malam aku tiba di sini, Zulfi. Sebuah kota kecil di Provinsi Riyadh tapi lebih dekat ke kota Provinsi Ghasim. Semalam, aku menempuh perjalanan dua jam naik taksi dari Riyadh, ibu kota KSA, padahal jarak Riyadh-Zulfi adalah 300 km lebih. Kalau di Indonesia mungkin harus menghabiskan waktu empat sampai lima jam karena macet. Tapi di negeri petro dolar ini, tidak ada istilah macet apalagi saat perjalanan di malam hari, ditambah kondisi jalan yang lurus dan satu arah.
Gurun Sahara tampak di kiri-kananku, menyajikan pemandangan yang eksotik sejauh mata memandang. Cahaya mentari pagi memantul indah di bukit-bukit pasir berwarna merah muda dan cokelat. Lukisan alam ini sungguh menakjubkan! Hanya ada satu dua pohon yang terlihat, itu pun sudah kering hampir mati. Ada juga beberapa kemah di atas bukit, tempat orang-orang Arab Badui tinggal dengan keluarganya. Mereka hidup nomaden dan kebanyakan berprofesi sebagai peternak kambing. Mereka hanya turun gunung ketika akan menjual hasil ternak di pasar hewan sekaligus membeli keperluan hidup sehari-hari sebagai bekal berbulan- bulan yang akan datang.
Al-Syita atau musim dingin baru sebulan datang, itu artinya masih ada empat bulan lagi yang harus dilalui.
Kendati matahari bersinar terang dan cuaca cerah, namun angin dingin bertiup kencang menyambut kedatanganku di Zulfi. Udara terasa dingin, uap keluar setiap kali mengembuskan napas jika sengaja mengeluarkan udara dari dalam mulut, persis seperti naga yang mengeluarkan api. Ketiga kawanku tersenyum melihatku melakukan hal tersebut. Terpaksa, kupinjam syal temanku untuk sekadar mengusir hawa dingin. Kini pakaianku lengkap sudah; baju dan celana tiga lapis plus jaket tebal, kupluk, sarung tangan, kaos kaki tebal, sepatu, dan syal. Persis orang eskimo di Kutub Selatan!
Zulfi sendiri termasuk kota kabupaten kecil yang berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa. Itu sudah termasuk para pekerja asing dari pelbagai negara seperti Indonesia, India, Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Mesir, Syiria, dan Filipina. Mereka kebanyakan bekerja di sektor informal sebagai pekerja kasar dengan gaji kecil. Yang paling parah di antara mereka adalah para pekerja dari India dan Bangladesh, dengan mayoritas berprofesi sebagai kuli dengan gaji paling rendah di negeri orang, hanya diupah 300 SR (650 ribu rupiah). Merekalah yang bekerja di bawah terik matahari untuk memperbaiki jalan rusak, gorong-gorong, menyapu jalanan, atau menyiram tanaman di pinggir jalan. Sepertinya upah 300 SR tidak sebanding dengan kerja berat, berpanas-panas lagi. Tapi, aku salut kepada mereka yang rata-rata bisa bertahan di negeri orang selama puluhan tahun! Itu karena secara ekonomi, mereka lebih baik tinggal di Saudi daripada di negara sendiri yang terkenal miskin dan melarat.
Seperti kebanyakan penduduk asli seantero Arab Saudi, penduduk asli Zulfi juga banyak yang malas. Mereka tidak mau bekerja kotor atau kasar, meski pekerjaan rumah sekalipun. Indonesia menjadi pemasok terbesar para sopir dan pembantu rumah tangga di negara petro dolar ini. Orang asli Saudi hanya mau bekerja sebagai kasir berbagai supermarket, bekerja di bank-bank, menjadi guru, atau pedagang. Tapi, banyak juga di antara mereka terutama para pemuda, yang jadi pengangguran.
Belakangan, ketika kutanya alasan mereka tidak mau bekerja kasar atau kotor, jawaban mereka cukup mencengangkan, “Itu kan pekerjaan kotor dan rendahan, kami tidak mau bekerja seperti itu. Lebih baik kami mempekerjakan orang asing karena kami punya uang untuk itu!” Aku menghela napas mendengar jawaban mereka. Betapa tidak? Mereka masih mempertahankan budaya nenek moyang mereka: perbudakan!
Zulfi nan Asri, begitu mereka menyebut kotanya, dikelilingi bukit-bukit pasir. Sebelah utara berbatasan dengan Muhafazhah Arthowiyah, sebelah selatan dengan Buraidah, sebelah timur dengan Majma’ah, dan sebelah barat dengan Al-Ghath. Seiring berlalunya waktu, pihak Baladiyah Zulfi gencar menanam pohon-pohon hijau di sepanjang jalan termasuk pohon kurma. Kendati kota ini hampir tidak punya sungai dan mata air, namun pasokan air tidaklah berkurang, bahkan melimpah menurutku.
Pihak kerajaan Saudi telah merancang sistem pendistribusian air untuk keperluan sehari-hari di seluruh wilayah negerinya. Air laut mereka sulap menjadi air siap pakai, dan orang boleh sepuasnya mengambil air di tempat-tempat yang telah disediakan.
Kendati Zulfi kota kecil, tapi boleh dibilang merupakan kota dengan geliat ekonomi yang menjanjikan dibanding kota-kota tetangganya. Buktinya, banyak orang dari luar kota datang ke Zulfi hanya untuk sekadar membeli barang atau memesan pekerjaan sekolah yang hanya bisa dikerjakan oleh para kaligrafer luar Saudi.
Inilah yang membuat Zulfi terkenal dengan khattath rossam-nya. Banyak anak-anak sekolah dan gurunya yang datang ke kota ini. Para kaligrafer sekaligus pelukis berkumpul di kota kecil ini, termasuk aku di dalamnya. Zulfi memang punya kelebihan tersendiri jika dibandingkan dengan kota-kota tetangganya.
xxx
Hari ini adalah hari pertamaku bekerja. Dengan badan menggigil, aku terus melangkah bersama kawan-kawanku menuju tempat kerja, sebuah maktabah besar di jantung Kota Zulfi. Istilah maktabah sebenarnya dalam bahasa Arab berarti perpustakaan. Namun, yang dimaksud di sini adalah sebuah toko ATK digabung dengan toko buku. Aku bekerja di bagian khattat wa rassam (kaligrafer dan pelukis, termasuk juga menghias suvenir). Aku tidak sendirian, karena ada tiga orang kawanku yang lebih dulu bekerja di maktabah ini, Tidzkar.