Pelukis Gurun Pasir

Republika Penerbit
Chapter #6

Oase Lima; Makan Malam Bersama Kafil

JAM sepuluh malam toko-toko di Zulfi mulai tutup. Aku sudah bersiap-siap jika Mubarok datang menjemputku. Kalaupun tidak dijemput, aku bisa pergi sendiri ke rumahnya berbekal “denah” yang dibuat oleh Cepi, temanku. Kali ini aku mengenakan jubah milik temanku karena di malam hari cuaca semakin dingin. Suhu malam ini mencapai 15 derajat! Itu kuketahui tadi dari alat pendeteksi suhu di masjid saat shalat Maghrib.

Tak lama berselang, Mubarok datang dan langsung mengajakku pergi ke rumahnya.

“Yallah sur’ah!” Ini merupakan kalimat ajakan yang sering kudengar di hari pertamaku bekerja. Orang-orang Indonesia mengartikannya dengan, “Ayo cepat!” Aku pamit pada teman-temanku. Mereka iri karena dulu tidak diperlakukan seperti itu oleh Mubarok ketika tiba di Saudi.

“Amaluna amalukum,” candaku. Sebenarnya, aku pun tidak mengerti mengapa majikanku ini mengajakku makan malam di rumahnya. Mungkinkah ini peng– hormatan khusus bagiku? Tapi, mengapa pula dulu teman-temanku tidak disambut seperti ini? Pertanyaan ini kusimpan dalam hati, toh nanti juga teka-teki ini akan terjawab.

Mobil sedan camry berwarna putih meluncur membelah malam yang dingin dan beku. Dalam cuaca seperti ini, porsi buang air kecil menjadi lebih sering, seperti yang kualami seharian tadi. Aku duduk di sebelah sopir yang juga majikanku, Mubarok bin Abdul Aziz al-Hubaisyi. Marga al-Hubaisyi termasuk marga yang dihormati di Zulfi, selain marga al-Thuraiqi. Itu karena kedua marga ini biasanya dimiliki orang-orang kaya, juga karena rata-rata mereka taat beragama dan punya kepedulian sosial di lingkungannya. Tapi tetap saja, mereka senang membangga-banggakan kelompoknya masing-masing.

Rumah orang-orang Saudi tinggi-tinggi. Kebanyakan berlantai dua atau tiga. Sekeliling rumah dipagari tembok tinggi sampai empat atau lima meter, dengan halaman bagian dalamnya luas. Aku baru tahu seperti apa bentuknya rumah orang Saudi itu. Dan, ada benarnya pula cerita seorang TKW yang satu pesawat denganku.

Ia bercerita tentang temannya yang diperkosa oleh sang majikan. Bagaimana dia bisa berteriak minta tolong atau melarikan diri dengan kondisi rumah yang seperti ini? gumamku dalam hati. Jangankan untuk wanita, aku yakin lelaki pun tak mudah untuk melarikan diri dari rumah yang seperti penjara ini.

Kami duduk di lantai beralaskan karpet tebal. Ruangan ini adalah ruangan khusus untuk tamu yang ber-AC hangat. Jika tidak ada AC, tentu mereka akan membuat perapian seperti di rumah orang-orang Eropa.

Mereka mengganti kursi dengan sandaran duduk yang terbuat dari busa tebal plus bantal-bantalnya yang besar pula. Tidak ada pajangan atau foto apa pun di ruangan ini, karena mereka mengharamkan gambar atau foto yang bernyawa. Aku duduk dan bersandar pada dinding sebelah kiri, sementara Mubarok, kakaknya yang bernama Muhammad, dan adiknya yang bernama Abdurrahman, duduk sejajar berhadapan denganku. Muhammad agak gemuk dan sedikit berjanggut, tidak seperti dua adiknya yang kurus dan tak berjanggut.

“Ya Prasetyo, tampaknya kamu tidak seperti teman- temanmu yang lain,” Mubarok memulai pembicaraan di antara kami.

“Maksudnya?”

“Iya, walaupun badanmu lebih kecil dari mereka, tapi logat dan bahasamu tidak sama dengan mereka,” jelas Mubarok.

Aku masih belum paham dengan ucapannya.

Lihat selengkapnya