“PRAS, besok pagi kita harus pergi ke Riyadh!” ujar kawanku Cepi.
“Memang ada apa apa?”
“Tadi sebelum toko tutup, Mubarok bilang, ada pekerjaan di Riyadh.”
“Terus, pekerjaan di maktabah gimana?”
“Kan ada si Misbah dan si Daday.”
“Emang Mubarok hanya menyuruh kita berdua saja?”
“Iya, dia bilang biar ente tau tempat-tempat di Saudi.”
“Oke lah, tapi pekerjaannya apa?” tanyaku penasaran.
“Ya melukis lah, apa lagi?”
“Melukis? Maksudnya di kanvas? Kan bisa dikerjakan di sini!”
“Bukan, bukan di kanvas, tapi di dinding sekolah ukuran 3,5 meter x 10 meter! Kamu siap nggak?” Cepi menegaskan, “Tenang, ada bayarannya kok.”
“Oke, siap! Sekalian aku mau lihat-lihat ibu kota Saudi,” ujarku girang.
Esoknya, tepat jam tujuh aku dan Cepi berangkat ke Riyadh diantar sopir orang Madura, Badar. Kami berangkat pagi karena jarak yang cukup jauh serta lukisannya harus selesai dalam sehari. Cukup melelahkan juga, hampir tidak ada jeda waktu untuk istirahat, hanya untuk makan dan shalat saja.
Seperti rumah orang Saudi yang dibenteng sekelilingnya dengan tembok tinggi, sekolah juga sama.
Kami melukis dinding bagian depan yang menghadap ke kelas TK. Lukisan cepat selesai, karena objeknya manzhar thabi’iy, dengan latar gurun pasir atau shohro yang membentang luas diselingi pohon-pohon kurma.
Tidak ada objek unta yang menjadi hewan khas gurun tersebut. Mereka, terutama ulama Saudi, melarang keras, bahkan mengharamkan melukis orang atau hewan yang bernyawa. Padahal, koran-koran harian dan majalah- majalah di Saudi menampilkan foto-foto orang dan binatang! Aneh sekali! Tersisa satu jam setengah bagi kami sebelum pulang ke Zulfi. Aku dan Cepi mengajak Badar jalan-jalan berkeliling ibukota. Aku lihat kota ini tidak seketat di Zulfi dalam cara beragama, seperti tidak ada pengarahan dan keharusan penduduk Riyadh untuk shalat berjamaah di masjid-masjid. Orang-orangnya terlihat cuek dan masa bodoh dengan yang lain. Hotel-hotel tinggi menjulang dan banyak berdiri mall-mall besar, menjadikan kota ini bisa dibilang texasnya Saudi, menurut orang Suriy yang kutemui ketika shalat Dzuhur di masjid.
Ketika kutanya milik siapakah hotel-hotel dan mall-mall itu, dengan mata melirik ke kanan dan ke kiri dia berbisik kepadaku, “Semuanya milik keluarga kerajaan!”
“Apakah di Riyadh ini aman?” tanyaku.
“Mengapa kau bertanya begitu, Kawan?”
Aku tidak mengerti dengan perkataan orang Suriah itu. Tapi kujawab juga dengan membandingkannya dengan kota tempatku tinggal, Zulfi.