SUDAH hampir sebulan aku berada di Zulfi. Aku sudah mulai terbiasa dengan makanan, cuaca, serta kebiasaan orang-orang Arab pada umumnya. Dalam berkomunikasi, aku tidak terlalu sulit karena sudah ter- biasa dengan bahasa Arab, tapi tetap saja harus belajar lagi Arab amiyah alias bahasa pasaran yang terasa asing bagiku, karena tidak memakai tata bahasa baku layaknya bahasa Al-Quran dan hadits.
Semakin lama tinggal di Zulfi, semakin tampak beberapa paradoks yang kulihat jelas dengan mataku. Bukan keanehan orang-orang Arab yang doyan makan, tapi keanehan sikap dan perilaku mereka sehari-hari, apalagi kalau sudah berhadapan dengan orang asing. Mereka merasa diri menjadi pribumi yang lebih tinggi derajatnya, sehingga harus dihormati hingga hukum pun harus berpihak kepada mereka. Tentu saja tidak semua orang Arab seperti itu, ada juga yang mengerti dan baik hati. Rangkaian paradoks dari tradisi orang-orang Saudi di antaranya sebagai berikut.
Pertama, kebiasaan bangun tidur. Rata-rata mereka bangun pagi pukul delapan atau sembilan. Ini karena jam masuk kerja di Saudi dimulai pukul sembilan pagi dan para pembantu mulai bekerja pukul sepuluh.
Kecuali sekolah dan bank, jam masuk kerjanya mulai pukul setengah delapan. Lalu, shalat Shubuhnya? Jelas mereka shalat usai bangun tidur dan matahari sudah tinggi. Bahkan kadang bagi mereka yang tidak bekerja di luar rumah, terus saja bablas sampai dzuhur. Kebiasaan ini juga banyak ditiru oleh para pekerja asing termasuk TKI. Bagaimana mungkin, mereka melaksanakan shalat Shubuh pada waktu Dhuha? Imbasnya, mereka banyak begadang di malam hari.
Apalagi jika malam Jumat tiba, mereka banyak yang keluar rumah untuk bersenang-senang di istirahah yang mereka bangun di pinggiran kota. Tidak ada agenda jelas, mereka hanya duduk-duduk bersama sambil minum qohwah khas Saudi. Bukankah hari Jumat itu sayyidul ayyam yang harus banyak berdzikir atau mengingat Allah di dalamnya? Dulu, di kampungku, malam Jumat itu ramai dengan kegiatan membaca yasin dan barzanji di masjid-masjid.
Jam kerja di Saudi tidak seperti di Indonesia. Jika di Indonesia masuk kerja tepat pukul tujuh atau lebih setengah jam, maka jam kerja di Saudi dimulai pukul sembilan sampai waktu dzuhur. Habis itu istirahat sampai waktu ashar, nanti diteruskan lagi setelah ashar sampai jam sepuluh malam. Hal ini tentu saja berpengaruh pada pola makan. Jadi, kami biasa makan dua kali sehari; habis shalat Dzuhur, dan nanti malam setelah pulang kerja.
Paling kalau lapar, kami bisa membeli sandwich yang harganya satu riyal usai shalat Maghrib. Itu aktivitas kami setiap hari, baik ketika sedang melaksanakan puasa sunah ataupun tidak.
Kedua, kebiasaan berkata “sur’ah”. Kata-kata ini menjadi bahan lelucon para TKI di Saudi. Dalam hal apa pun, biasanya orang-orang Saudi ketika menyuruh mengerjakan sesuatu, dipastikan bilang sur’ah, yang berarti cepat, cepat! Untuk pekerjaan tertentu memang bisa dilakukan, tapi untuk melukis, hal itu tidak bisa dilaksanakan. Pasalnya, bagaimana sebuah lukisan mau bagus hasilnya, bila dikerjakan cepat-cepat? Padahal, kadang seorang pelukis itu membutuhkan imajinasi dalam bekerja. Kalau cuma asal-asalan sih bisa saja, tapi kami para pelukis tidak mau seperti itu, karena seorang pekerja seni lebih mementingkan rasa daripada kecepatan.
Pernah seorang wanita tua dan gemuk datang dengan napas tersengal-sengal ke toko kami lalu berkata, “Ya Muhammad, bisa membuat pekerjaan sekolah sekarang juga?”
Aku yakin, napasnya yang seperti itu akibat dari obesitasnya, dan rata-rata wanita Saudi kalau sudah menikah memang seperti itu. Secara logika bisa dimengerti. Mereka hampir tidak pernah berolahraga, hanya diam di rumah kalau tidak belanja. Mereka memiliki uang banyak, apalagi jika dia berwajah cantik pasti menikah dengan orang kaya, suka sekali makan cokelat dan ngemil, serta pekerjaannya kebanyakan menganggur di rumah karena selalu punya pembantu.
Dia memperlihatkan gambar dari buku paket sekolah anaknya. O ya, orang Arab selalu bilang Ya Muhammad atau Ya Ahmad kepada orang yang belum dikenalnya.
Aku yang kebetulan sedang membersihkan rak, melirik seraya berkata, “Lazim alhiin? (harus sekarang selesai?), tidak bisa nanti sore?”
“Ya, harus sekarang juga selesai, saya tunggu,” jawabnya.
“Lukisan seperti ini tidak bisa selesai sekarang juga! Belum tulisannya harus timbul, pakai serbuk warna-warni lagi,” jelasku padanya.
“Leisy?” dia bertanya kenapa.
Kuterangkan proses pembuatan sebuah lukisan hingga menjadi bagus. Tapi tetap dia ingin beres dengan cepat. Aku menawarkan kepada kawanku yang lain, dan mereka pun menggelengkan kepala, tidak berani mengambilnya. Kulihat Daday, menempelkan telunjuknya miring di atas dahinya, aku tersenyum.
Akhirnya aku bilang padanya, “Kami tidak bisa mengerjakannya cepat-cepat. Silakan ke toko lain, barangkali ada yang bisa mengerjakan ini dengan cepat!”
Ia pun berlalu tanpa menoleh lagi.
Ketiga, suka kepada sesama jenis alias homo. Tentu tidak semua pemuda Saudi punya kelainan seperti itu, masih banyak yang saleh. Tapi cerita ini menjadi buah bibir di kalangan para TKI seperti aku. Banyak cerita dari para TKI yang hampir jadi korban mereka. Sebagai pekerja baru, semula aku tidak mengindahkannya. Masa penduduk asli Zulfi ada yang seperti itu? Apakah mereka tidak malu dengan Makkah dan Madinah, dua tanah suci yang sangat dicintai Rasulullah Saw.? Konon, mereka suka mengincar para pekerja baru, biasanya dari Indonesia dan Filipina.
“Ah, masa mereka seperti itu sih, Day?” tanyaku pada Daday di sela-sela kami bekerja.
“Eh, kamu mah dikasih tahu ga percaya!” sungut Daday.
“Mau gitu kamu, Pras, jadi korbannya?” Misbah menimpali sambil melirikku.
“Iy... amit-amit deh... na’udzu billāh min dzālik,” jawabku seraya menggigilkan badan.
“Tapi biasanya mereka suka mengincar pekerja baru lho, seperti kejadian yang menimpa si Dadang yang bekerja di Maktabah al-Ropidin dulu.” Cepi memperingatkan.
Cerita mereka mengingatkanku pada kaum Nabi Luth as. Dulu, kaum Nabi Luth yang tinggal di negeri Sodom dihancurkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril gara-gara mereka melakukan dosa besar, yaitu homoseksual. Negeri mereka luluh lantak dihujani batu yang telah ditandai.
Sebelumnya, negeri Sodom kedatangan dua orang tamu yang tampan-tampan dan singgah di rumah Nabi Luth as. Kedatangan keduanya diketahui oleh penduduk Sodom usai diberitahu oleh istri Nabi Luth yang ingkar.
Lalu, mereka mendatangi rumah Nabi Luth dan meminta agar kedua tamu itu diserahkan pada mereka. Tentu saja Nabi Luth merasa sedih. Tapi akhirnya kedua tamu itu mengaku bahwa dirinya adalah utusan Allah ( Jibril dan Mikail) yang akan menghancurkan negeri Sodom karena penduduknya telah melakukan dosa yang belum pernah dilakukan oleh kaum sebelumnya (homoseksual). Menjelang shubuh, Nabi Luth dan orang- orang yang beriman diperintahkan untuk meninggalkan negeri Sodom tanpa menoleh ke belakang. Mereka akhirnya pergi kecuali istri sang nabi, karena dia telah kafir. Beberapa saat usai Nabi Luth dan orang-orang yang beriman pergi menjauh, negeri Sodom benar-benar dijungkirbalikkan oleh Jibril atas perintah Allah Swt.
Dan, perilaku penyimpangan seks ini kini menjamur lagi terutama di negara-negara Barat dan Amerika, dengan kaum gay-nya. Mengapa perilaku homoseksual ini dilarang sejak zaman dulu? Mengapa pula Baginda Rasul melaknat dan menyuruh mereka untuk dibunuh? Penelitian terakhir tahun 2008 atas perilaku penyimpangan seksual ini membuktikan bahwa pelaku homoseksual lebih banyak terkena serangan bakteri ganas jenis baru yang menyerang zat antibiotik yang merupakan komponen dari sistem kekebalan tubuh manusia. Bakteri ini dikenal dengan nama bakteri pemakan daging manusia. Proses terjangkitnya kaum homoseksual oleh bakteri ini adalah melalui penyimpangan dalam hubungan sesama jenis yang dilakukan lebih dari tiga belas kali.
Dr. Bench Deep pernah merilis bahwa penularan bakteri ini biasanya menimpa kaum homoseksual di beberapa organ tubuh mereka karena adanya persentuhan kulit dengan kulit lawan saat melakukan penyimpangan hubungan seksual. Yang mengejutkan, dalam beberapa tahun terakhir jumlah orang yang mati di Amerika akibat kuman ini lebih banyak persentasenya dibanding orang yang mati karena virus HIV/AIDS. Para peneliti menamakan bakteri ganas jenis ini dengan MRSA.
Maka, benarlah Rasulullah Saw. yang berkata, “Perbuatan keji yang dilakukan kaum Luth selalu berakibat laknat bagi mereka. Mereka akan mendapat laknat berupa wabah dan penyakit yang belum pernah ada pada kaum sebelumnya.” (HR. Al-Hakim) Cerita kawanku itu lantas kuyakini kebenarannya, pasalnya beberapa hari setelah itu, aku hampir menjadi korban.
Suatu malam, aku pulang pukul sebelas karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam itu. Aku menyusuri jalanan sepi menuju rumah kontrakan. Kawan-kawanku yang lain sudah duluan pulang. Waktu itu aku masih belum punya sepeda, jadi terpaksa harus jalan kaki.
Di tengah perjalanan, ada mobil sedan silver yang mendekatiku. Ia membuka kaca mobil dan berkata, “Anta Indunisiy?”
“Naam,” jawabku.
“Kamu butuh uang? Naiklah ke mobil dan pergi bersamaku.” Aku yang pekerja baru di Zulfi dan telah diingatkan oleh kawanku segera menyadari keadaan yang sebenarnya. Itu hanya modus saja. Benar juga cerita kawanku itu, batinku.
“Sudahlah, naik saja ke mobilku, nanti aku kasih uang dan kuantar pulang,” ujar dia meyakinkanku.
“Hal anta muslim?” tanyaku padanya. Aku tahu dia pasti seorang muslim, tapi ini hanya untuk mengingatkannya.
“Ya, saya muslim, memangnya ada apa?”