Punggungku terasa pegal, genap enam jam aku mengikuti UAS hari ini. Satu kali ujian bahasa Sunda dan dua kali ujian Matematika. Sumpah, itu sangat melelahkan. Aku menghela napas, mencoba mengingat kejadian barusan. Kok bisa tanda tangan kami ketuker? Tentu itu bukan bagian dari rencana kemarin. Rencana kami itu kan tukar lembar jawaban, bukan tukar tanda tangan. Lagian, kok bisa sempat-sempatnya Bu Siringgo ngecek tanda tangan kami di lembar jawaban dan lembar absen. Akhirnya kami digiring deh ke kantor guru, ujian ulang. Kali itu mana bisa tukar-tuker jawaban. Bu Siringgo pun sampai melarang kami menggunakan correction tape. Mencegah kami melakukan trik-trik aneh. Duduk di tengah-tengah kami, seling satu bangku guru, mengawasi. Jadi ya, hitung kancing dan pensil ajaib sekarang jadi solusi terbaik. Materi bab peluang yang kupelajari terpakai juga akhirnya. Masa bodo dengan peluang yang tidak pasti, kalau begitu keadaannya tujuanku cuma satu, yang penting keisi.
Aku melirik jam di dinding, sekarang pukul 14.00 siang, jam segitu kantin pasti banyak yang sudah tutup. Ketunda deh nasi goreng rasa kompensasi sampai di perutku.
“Prian, jangan lupa nasi gorengnya ya, besok.” Aku merapihkan alat tulisku. “Oh ya, tadikan sudah telat satu jam lebih empat puluh menit, sekarang bahkan sudah dua jam kamu gak memberiku apapun. Jadi kira-kira ada tambahan kompensasi apa lagi nih?” Aku berbisik dari kejauhan, seling dua bangku guru dari tempat Prian duduk. Prian menoleh, dia hanya menatapku situs, menempelkan jari telunjuknya di depan mulutnya.
Aku tertawa ringan. Aku kan hanya mencoba untuk menghibur, sudah keroncongan juga perutku. Hmm … kompensasi, keren juga ya kalau didengar. Emang ya, kalau orang pintar tuh biasanya punya bahasa sendiri.
Aku tidak tahu apa yang berkecamuk dipikiran Prian saat itu. Tapi yang jelas, rawut wajahnya berbeda dibandingkan saat ia merayuku. Dia selalu merunduk setiap kali ada guru yang lalu lalang menanyakan pada Bu Siringgo kenapa kami bisa ada di kantor itu. Aku terkekeh. Kenapa harus merunduk? Toh kita itu bukan penjahat kok. Bukan koruptor. Kita cuma orang yang ketahuan menyelundupkan jawaban saat ujian. Tidak ada transaksi uang gelap atau obat-obatan terlarang. Cuma transaksi kertas gelap dan alat tulis yang akhirnya dilarang.
Ujian selesai, lembar soal dan jawaban keduaku pun sudah kukumpulkan di meja Bu Siringgo. Tak ada respon darinya, hanya jeweran sebagai salam sebelum pulang. Pekak telinga kami dibuatnya. Mungkin dia pun jengkel karena harus menunggu kami ujian ulang.
Kami keluar dari ruang guru, berpisah memilih jalan yang berbeda untuk pulang. Prian berjanji, di lain waktu ia akan membayar kompensasinya. Aku hanya mengangguk, sudah cukup aku melihatnya berbicara setelah sejak tadi dia murung. Gak butuh waktu lama Prian untuk lekas menghilang dari hadapanku, ia langsung berlalu belok kiri melewati kantor administrasi yang satu ruangan dengan kantor kepala sekolah, sepertinya ia lewat pintu utama. Tak lama kemudian, ada hal yang mencuri perhatianku seketika. Beberapa orang dengan pakaian dinas yang sama dengan guru-guru yang lain keluar dari kantor itu. Sebagian dari mereka membawa berkas. Tapi, aku gak pernah melihat mereka sebelumnya. Saat itu, mereka semua melihatku sambil tersenyum manis. Aku hanya menundukkan kepala sebentar, membalas senyum mereka dan lantas mereka pun berlalu begitu saja. Hmm … siapa mereka? Ngapain mereka di sini? Tch, untuk apa aku pusing-pusing mikirin mereka, palingan mereka cuma orang-orang dari dinas pendidikan yang baru selesai rapat dengan kepala sekolah. Atau … ah sudahlah tak perlu dihiraukan.
Aku memilih jalan memutar, berkeliling sekolah sembari menghilangkan penat setelah habis ujian berjam-jam. Aku suka melakukannya, keliling lorong sekolah, memeriksa setiap kolong meja di setiap kelas, berharap ada rejeki yang kutemukan. Atau sekadar berkeliling lingkungan sekolah yang besar itu, menghabiskan waktu sendirian.
Gak ada kerjaan? Yaa, memang. Habisnya gimana? Aku enggak tau mau ngapain lagi setelah pulang sekolah. Langsung pulang? Ayolah, bahkan tongkat sapu dan kain pel pun sudah berdiri setiap sore menungguku di rumah.
Aku berjalan ke lorong kelas 8. Sepi, gak ada murid di dalam. Katanya sih sterilisasi ruangan untuk ujian besok. Kalau di hari-hari biasa, jam segitu biasanya masih ada beberapa murid yang masih getol bahas materi dan diskusi di kelas. Tapi kadang aku mikir, apa gak jenuh seharian suntuk di dalam kelas kerjaannya cuma baca buku bahas materi barusan? Padahal ya, toh semua yang kita hafal-hafal sedemikian keras nantinya juga bakal kita lupain lagi. Kenapa ya mereka begitu antusias? Ambis banget buat sesuatu yang nantinya bakal dilupain. Huh.
Sambil berjalan, mataku masih menatap jendela-jendela ruangan itu. Aku gak nyangka, apa yang mereka katakan tentang sekolah itu ternyata bukan cuma kabar burung. Setelah beberapa bulan aku bersekolah di situ, aku terkejut setelah melihat semuanya. Kupikir sekolah di sekolah favorit itu menyenangkan. Tapi, ternyata ….
Padahal dulu aku sangat mengidam-idamkan sekolah itu. Belajar sedemikian keras, pulang dari sekolah langsung datang ke tempat les, setahun penuh. Sampai akhirnya aku diterima di sekolah itu. Sungguh, aku benar-benar diterima di sekolah itu.