Pemalas Tak Suka Kelas

Fadli Ramdani
Chapter #3

Kantin kosong

Kantin sepi seperti biasanya. Beberapa pedagang sedang duduk manis di depan lapaknya, menunggu pembeli yang datang. Hanya ada beberapa siswa yang datang ke sini untuk membeli dan lantas berlalu begitu saja. Hanya ada aku yang mengisi kursi kantin. Sisanya debu, beberapa gelas dan kursi kosong tentunya.

“Ngapain kamu ke sini? Kamu gak ikutan ngambis kaya yang lain?” Aku menoleh ke belakang, orang itu tiba-tiba muncul dibelakangku. 

Prian mengedikkan kepalanya sambil mengangkat bahu. “Kurasa memperhatikan guru saat jam pelajaran aja udah cukup sumpek. Untuk review, bisa lah dilanjut di rumah.” 

Setuju, memang sumpek. Kok yang lain betah ya, lama-lama di kelas. Pelit banget kayanya nyediain waktu untuk menyenangkan perut dan otak. Kan kasihan penjual yang ada di situ. Mereka sudah rajin buka warung pagi-pagi berharap ada yang datang. Eh murid-murid itu malah ngendog1 di kelas. Padahal ya, beberapa menit duduk, berbicara basa-basi di luar pelajaran kurasa sudah cukup membuat penjual itu senang.  

Sekarang giliranku yang bertanya setelah dia memberikan tawaran yang menarik. “Oh ya, Prian. Boleh aku menanyakan sesuatu?”

Prian menoleh menatapku mengangguk. Ia langsung duduk di sampingku. Laki-laki berwajah Arab itu menumpukan kepalanya dengan tangan kanannya yang bersandar di meja, siap mendengarkan.

“Belakangan ini aku bingung. Kenapa sih, kamu selalu membantuku?”

“Loh, memangnya kenapa? Bukannya bagus kalau kamu dapat bantuan tanpa harus minta ke siapa-siapa?” Prian mengeluarkan jari telunjuknya ke arah penjual es teh. Memesan.

Prian tersenyum kecil. “Sederhana, aku cuma mau temenan sama kamu aja kok, Ris.”

“Temenan? Tapi, kenapa?”

“Karena kamu ga kayak yang lain, Ris. Aku rasa.”

Dia berhenti sejenak, mengangguk pada siswa lain yang lewat di depan kami, ramah menyapa, mencoba bergurau pada Prian, memanggilnya dengan nama terlarang. “Woy, Kemri!” Mendengar itu Prian mengacungkan tinju ke arah siswa itu. Aku juga ikut menahan tawa karenanya. Jadi itu namanya ya ….

“Kamu tahu enggak ….”

“Enggak.” Aku menimpali, menggeleng sambil tersenyum. Prian menatapku tajam. 

“Kamu mau denger, enggak?” Dia menjawab dengan sebal.

Lihat selengkapnya