Ikan Lele sudah kusiapkan. Sudah kusimpan diantara peralatan yang lain. Lihatlah, ia sedang berenang indah di dalamnya. Karena ikan itu, aku harus pergi ke pasar pagi-pagi sekali. Merepotkan. Mereka menyuruhku membawanya. Katanya sih, untuk praktek tugas teks observasi. Judulnya, ‘Seberapa Lama Lele Bisa Hidup Di Dalam Air Deterjen.’ Hari ini jadwalnya pelajaran bahasa Indonesia. Aku menggaruk kepala, sebenarnya itu pelajaran apa sih? Bahasa Indonesia, kok harus bawa Lele?
Sesuai permintaan Pak Eddy, kami semua sudah berkumpul di pendopo untuk melaksanakan praktik. Dengan kelompoknya masing-masing. Kami memilih untuk duduk di pojok dekat kolam.
Seperti biasa, udara pagi di pendopo memang segar. Beberapa bagian di pendopo itu tersiram cahaya matahari pagi. Kolam di dekat kami salah satunya. Kalau dilihat, bersih, sepertinya baru kemarin kolam itu dibersihkan. Melihat lapangan, sekarang diisi oleh kelas 7-2 dan 9--entahlah aku tidak tahu-- yang dapat giliran untuk olahraga. Kelas lain tentram dengan masing-masing mata pelajarannya.
“Duh, malang juga ya … nasibmu hari ini. Padahal ya, daripada masuk air deterjen, mending masuk ke perutku. Dengan begitu kematianmu tidak sia-sia karena sudah berhasil menghilangkan kelaparan meskipun cuma beberapa jam.” Prian menatap lamat-lamat plastik yang ia pegang, sesekali ia ikut menganga setiap kali ikan itu menatap kearahnya. “Ya, kan, Ris?” Prian langsung menoleh ke arahku.
Aku menggeleng sambil menelan ludah. Dasar aneh, emang ya orang pintar itu suka punya perilaku aneh. Untuk perihal ikan, tentu saja tidak. Aku sangat tidak suka dengan ikan Lele. Atau lebih tepatnya lagi ikan air tawar. Bagaimana pun cara pengolahannya. Entah mengapa aku selalu merasa mual setiap kali mencoba untuk memakannya.
“Aku heran sama kamu, Ris. Kamu itu banyak gak sukanya. Matematika gak suka, IPA juga begitu. Dan sekarang Lele pun juga gak suka? Padahal enak loh, Ris kalau ikan ini dijadiin Pecel Lele.”
Dahiku mengerut. Gak ada hubungannya kedua mata pelajaran dengan ikan yang satu itu. Satu poin lagi untukku. Orang pinter itu suka ngalor ngidul.
Aku menyipitkan mata. “Kamu tahu jamban? Aku pernah liat salah satu jamban di atas kolam tanah di kampung halamanku. Dan kamu tahu apa yang terjadi saat itu?”
Prian menyengir. Dia itu murid pintar, tak perlu kujelaskan apa yang terjadi saat itu.
“Dan kamu tahu apa yang lebih buruk lagi? Mereka menjualnya, Sobat. Sumpah, bahkan aku selalu ingat bagaimana mereka mengambil ikan itu dari salah satu sudut empang itu. Dan dengan senyum manisnya mereka menimbang ikan itu.”
“Kamu mengada-ngada, Ris. Gak mungkin itu terjadi. Ikan-ikan yang ada di pasar itu sama sekali berbeda dari yang kamu bayangin, Ris. Mereka pasti mengambilnya dari tambak, dirawat dengan baik. Bukan dari empang di bawah jamban.”
Aku menimpali. “Mungkin aja, emangnya dari mana kamu bisa tahu kalau ikan itu benar-benar dari tambak? Lagian ya, orang kaya kamu tuh paling maunya cuma tinggal duduk manis, menunggu, dan yah pecel Lele kesukaanmu datang di depan mejamu.” Aku bergidik sambil menjulurkan lidah. Membayangkannnya saja, aku ingin muntah.
“Terserahlah.” Prian tidak tertarik melanjutkan gurauanku, membahas hal lain, “Ini Pak Eddy kemana sih? Kok belum dateng juga.”
Nugraha dan Harjo tertawa mendengar perseteruan kami.
Sekarang pukul 07.30, sudah setengah jam kami menunggu, akhirnya dia datang juga. Enggak butuh waktu lama untuk Pak Eddy memberikan arahan mengenai prosedur praktek. Seperti biasa, guru itu datang sebentar, lantas pergi dan bilang, “Kalau ada butuh apa-apa, temui saya di dapur.”
Aku menggeleng melihat Pak Eddy. Ia selalu begitu setiap mengajar. Kami sekelas pun sampai hafal di mana posisi duduknya. Kalau ditemui di dapur, ia selalu duduk dekat pintu dengan kopi di meja, dan rokok yang menyala di mulutnya.
Prian menghembuskan napas. “Yaudah, langsung kita kerjain aja yuk!”
Kami mengangguk. Lagipula praktek itu terlalu mudah. Tanpa perlu arahan pun, kurasa kami bisa melakukan semuanya.
Kami membagi tugas. Harjo yang mengisi air, Nugraha yang menuangkan deterjen, Prian yang menuangkan Lele dan Nugraha yang mengisi datanya.
Nugraha menatapku datar. “Kamu gak ikut kerja, Ris?”
Aku menoleh ke arah Harjo sekilas. “Harjo kan gak bawa apa-apa, jadi biar dia yang gantiin jatahku.” Harjo yang mendengarku ikut mengangguk.
Aku tidak ingin melakukkannya lebih jauh lagi. Tapi kurasa itu alibi yang buruk.