30 Juni 2013 adalah hari pendaftaran peserta didik baru. Hari dimana semua murid SD pasti menantikannya, tak terkecuali denganku. Aku menyambut hari itu dengan semangat bercampurkan rasa ragu. Ingin rasanya segera melihat hasil dari jerih payahku selama satu tahun belajar mati-matian. Aku bangun pagi sekali, lekas membersihkan kasur, mandi, sarapan pagi dan lekas berlari pergi ke warnet.
Warnet PCM sudah buka. Sudah banyak sendal di depan pintu, ramai. Aku masuk dan meminta Om Fery menyalakan billing komputer di paling ujung. Aku membuka website pendaftaran peserta didik baru. Memasukan nama sekolah yang kupilih saat mendaftar. SMPN 666.
“Lagi ngapain kamu, Ris? Gak biasanya kamu datang ke situ gak main game.” Om Fery memegang pundakku dari belakang.
“Oh ya, itu Om aku lagi coba liat website pendaftaran peserta didik baru. Aku mau coba liat, diterima atau enggak.” Aku sedikit menoleh ke belakang.
“Owalah, masih pake sistem jurnal ya? Pakai nilai UN kan, ya sekarang namanya? Kalau dulu aku tuh namanya … Duh apa ya, aku lupa.” Om Fery menggaruk kepala. “Oh ya, Ebtabnas, Ris namanya. Evaluasi Belajar Tahun Akhir Nasional.” Om Fery melanjutkan, tempaknya dia antusias “Sekarang masih pake sistem rayon, Ris?”
Aku hanya mengerutkan dahi seraya menatap Om Fery. Tidak mengerti. Sistem Rayon? Aku baru mendengar istilah itu.
“Itu loh, Ris … seinget aku kalau gak salah ya. Misalnya kita mau daftar sekolah yang wilayahnya berbeda. Atau anggap aja begitu, kamu kan warga Depok dua. Nah kalau misalnya kamu mau daftar di sekolah yang posisinya di Depok satu, Nem kamu harus lebih gede. Itu masih ada gak?”
“Oh ya ya … Om. Aku pernah denger soal itu. Tapi, gak ada pengaruhnya juga sih. Lah, orang aku cuma daftar yang di situ-situ aja.” Aku mengangguk, menghormati. Terus terang saja aku sendiri tidak mengerti apa yang dia maksud. Nemku saja pas-pasan, mana sempat aku mikir untuk daftar sekolah yang jauh. Lagipula kalau sekolahnya jauh, semuanya serba susah. Transportasi, barang ketinggalan. Repot kalau kata Ibu.
“Yaudah deh, Om doain deh semoga kamu diterima masuk ke sekolah itu.” Om Fery menepuk pundakku sambil tersenyum sebelum akhirnya dia beranjak dari tempatku.
Aku menatap Om Fery, mengamini. Om Fery adalah operator sekaligus pemilik warnet itu. Aku selalu ingat, itu senyum yang sama saat pertama kali aku mengunjungi warnet itu. Kebetulan baru buka. Waktu itu uangku kurang dua ribu rupiah saat aku ingin membayar billing sebelum menggunakan salah satu komputernya. Om Fery mengibaskan tangannya cepat-cepat.
“Udah, gausah … karena warnet ini baru buka, kamu aku kasih tambahan satu jam main gratis untuk hari itu.” Om Fery tersenyum dengan kumis penjahatnya yang ikut terangkat.
Warnetnya murah banget, mungkin warnet yang paling murah dan dekat sejauh itu yang pernah kutemui. Enam ribu tiga jam, kalau sepuluh ribu enam jam. Posisinya bersebrangan dengan gang rumahku. Tinggal jalan kaki, turun dari tanjakan, nyebrang, sampai deh. Warnet itu seringkali penuh, jadi harus pagi-pagi datengnya. Pernah aku harus menunggu dua sampai tiga jam untuk dapat giliran menggunakan komputer di situ.
“Hey, Ris! Ayo udah ditungguin nih. Lobby-nya masih kurang dua player loh, biar tandingnya seimbang.” Rudi menyergah pembicaraan kami.
Aku menggeleng, mataku terfokus pada layar monitor. Ratusan nama terpampang di depanku. Acuh dengan suara keyboard dan bunyi ‘tembakan’ dari pengguna lain. Rudi sejak tadi mengajakku untuk main Point Blank--kami biasa menyebutnya dengan PB--. Namun aku tidak menggubrisnya. Aku mencoba untuk me-refresh link pada kotak website. Klik kotak website, langsung tekan tombol enter. Agak lambat, karena mungkin server-nya dipenuhi oleh siswa pendaftar baru. Perlahan semua nama itu berganti posisi, turun ke bawah. Namaku ada di urutan seratus dari empat ratus delapan puluh nama siswa yang tertera. Waktu itu aku memilih mendaftar di SMP Negeri 666 sebagai pilihan pertama. Sekolah yang populer dan paling dekat dengan rumahku. Waktu itu aku berpikir menjadi salah satu siswa dari SMP Negeri 666 mungkin punya kebanggaan tersendiri. Bagaimana tidak, itu impian semua siswa SD di kota itu. Sekolah itu terkenal dengan siswanya yang pintar. Banyak sekali siswa juara akademis berkumpul di sana. Lulusannya pun banyak sekali yang diterima di SMA Negeri. Konon katanya sekolah itu sulit ditembus. Memang sih, kalau dilihat dari depan, sekolah itu tampak seperti benteng berwarna putih yang membentang sepanjang sembilan puluh meter di jalan Tobari raya. Dan yah orang-orang menyebutnya dengan nama Bento, Benteng Tobari raya yang sulit untuk ditembus.
Aku menggeleng. Sial! Semakin di refresh, semakin turun saja peringkat namaku. Aku menghela napas. Rata-rata Nem yang dibutuhkan untuk masuk ke sekolah negeri itu dua tujuh koma sekian--entah akupun lupa berapa spesifiknya-- Kalau sudah begitu, mana bisa aku menyempatkan diri ikutan join main PB. Hilang duluan seleraku untuk main. Kuputar scroll pada mouse. Kalau dilihat semua daftar nama di urutan seratus besar, mereka semua orang-orang cerdas. Nem-nya di atas dua puluh delapan. Bahkan ada yang tiga puluh! Jauh sekali denganku yang hanya dua puluh lima koma enam. Posisiku kini memasuki peringkat tiga ratus. Aku menggeleng lagi, pesimis. Sudah terlihat hasilnya akan seperti apa.
“Gimana progresnya?” Om Fery kembali menghampiriku.
“Jelek Om. Aku gak diterima di sekolah itu. Tuh liat, namaku udah ada diperingkat terakhir. Paling tinggal direfresh sekali lagi udah hilang namaku Om.” Aku menunjuk layar monitor.
“Wah, sayang banget dong.” Dia ikut menghela napas. “Yaudahlah, mungkin sekarang bukan rejeki kamu. Toh, sekolah dimana aja sama aja kok, Ris. Sama-sama membosankan.”
Aku menggosok dagu. Emang benar ya, sekolah itu membosankan? Padahal di luar sana anak-anak SD lain lagi harap-harap cemas dapat sekolah negeri. Kan di sekolah negeri itu enak, siswanya pintar-pintar. Fasilitas memadai. Gratis lagi. Kenapa bisa membosankan? Mungkin emang Omnya aja dasarnya malas. Lagian kan sayang juga Nemku. Sudah susah-susah kubelajar empat pelajaran itu, setahun, pulang sekolah langsung berangkat ke tempat les. Masa tidak kupakai hasilnya.
Tapi kalau hasilnya begitu, sulit juga. Percuma ngawang ke sana-sini, kalau diterima masuk sekolah negeri aja, enggak. Aku mencoba me-refresh kembali. Sekarang namaku benar-benar hilang di antara daftar nama itu. Aku menghela napas, diam sejenak, seketika badanku terasa lemas, sia-sia usahaku belajar waktu selama itu. Aku memasukkan laci keyboard, lantas mematikan billing dari komputer.
“Ris, kamu baru bayar buat main tiga jam loh. Kenapa langsung dimatiin billingnya?”
“Aku gak selera main Om.”
Om Fery tidak menjawab. Hanya mengangguk dan lantas mengambil uang yang kuletakan di meja operatornya. Lantas aku keluar dari warnet itu.
“Yahh bukannya dikasih ke aku aja tuh sisa billingnya, Ris!” Rudi berseru dari kejauhan.