Pembalasan Mantan pacar yang Terkianati

Veara Mart
Chapter #1

#1

Langit senja perlahan memudar, mewarnai taman dengan cahaya orange yang lembut. Seorang gadis berdiri di balik semak-semak, tubuhnya kaku, sementara tatapannya terpaku pada dua sosok di bangku taman.


"Kamu yakin nggak ada yang tahu?" Tanya wanita itu dengan suara lembut, sambil bersandar di bahu pria yang ia kenal begitu baik.


"Tenang saja. Semua aman." Jawab pria itu, tersenyum tipis, lalu meraih tangan wanita di sebelahnya. Sentuhan itu, yang dulu selalu membuatnya merasa aman, kini menjadi pisau yang menusuk jantungnya.


Tangannya gemetar saat dia mengangkat ponsel, menekan tombol rekam dengan tangan yang dingin. Air mata menggenang, kabur di pelupuk matanya, tapi dia berusaha menahannya. Isak tangis tertahan di tenggorokan, seolah jika ia mengeluarkannya, segalanya akan runtuh tak terkendali.


“Ini... benar-benar terjadi.”Gumamnya dalam hati, nyaris tak percaya pada apa yang baru saja ia lihat.


Mata Audrey sontak melebar, napasnya terhenti di tenggorokan. Di depannya, kekasih yang selama ini ia percayai tengah bercumbu mesra dengan seorang gadis asing—tampak anggun dengan pakaian mahal dan perhiasan berkilau, gadis itu jelas berasal dari keluarga kaya raya. Sangat berbeda dari dirinya, seorang anak panti asuhan yang selama ini selalu merasa tak layak untuk bermimpi terlalu tinggi.


Audrey berusaha mengatur napasnya yang mulai tercekat. Setiap ciuman, setiap sentuhan antara mereka seperti menambah beban di dadanya. Dunia di sekitarnya terasa memudar, hanya menyisakan perih yang menggigit dalam. "Pria brengsek." Umpatnya, menahan air mata yang hampir pecah.


Setelah dirasa cukup merekam bukti perselingkuhan yang terhampar jelas di depan matanya, Audrey menurunkan ponselnya dengan tangan gemetar. Napasnya berat, dadanya sesak, tapi dia tahu tidak ada gunanya lagi berdiri di sana lebih lama. Dengan langkah yang gontai namun tegas, ia segera berbalik, meninggalkan pemandangan yang menghancurkan hatinya.


Tanpa menoleh lagi, Audrey berjalan menjauhi taman, menuju halte bus yang tidak jauh dari posisinya. Setiap langkah terasa berat, seolah beban emosionalnya merayap ke seluruh tubuhnya. Dia hanya ingin segera pergi, menjauh dari kenyataan pahit yang baru saja ia saksikan. Hanya deru angin yang menemani isak tangis yang terpendam dalam diam.


"Sial, seharusnya aku tidak menangisi pria brengsek sepertinya." Dengus Audrey dengan nada marah bercampur perih. Ia segera menaiki bus yang berhenti di depannya, berusaha menyembunyikan perasaan hancurnya di balik raut wajah yang berusaha tenang.


Baru saja duduk di kursi paling belakang, dering ponsel tiba-tiba memecah lamunannya. Dengan cepat, Audrey merogoh tasnya dan melihat nama di layar. Setelah berdehem pelan untuk memastikan suaranya tak terdengar goyah setelah menangis, ia menekan tombol jawab.


“Halo?” Ujar Audrey, suaranya terdengar nyaris normal, meski hatinya masih berkecamuk.


“......”


“Iya, Bunda. Ini Audi sudah menaiki bus,” Jawab Audrey singkat, suaranya masih berusaha stabil. Setelahnya, ia mematikan panggilan, menatap layar ponselnya sejenak sebelum memasukkannya kembali ke dalam tas.


Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya deru mesin bus yang menemani pikirannya yang terus melayang pada apa yang baru saja terjadi. Saat bus akhirnya berhenti, Audrey segera berdiri dan menuruni tangga bus dengan langkah berat.


Begitu kakinya menyentuh aspal, ia berjalan menyusuri trotoar, sedikit jauh dari halte. Udara sore mulai menusuk kulit, tapi Audrey hampir tidak merasakannya. Setelah beberapa menit berjalan, pemukiman mulai terlihat, dengan bangunan-bangunan kokoh yang menjulang di sekitarnya. Di antara bangunan besar itu, tujuan Audrey sudah tampak—rumah besar dengan pagar tinggi yang seolah memisahkannya dari dunia yang baru saja menghancurkan hatinya.

Lihat selengkapnya