Ina kebelet pipis tapi takut ketemu Hantu Mursinem. Ah, tadi sore seusai murajaah ngapain juga si Dinda pakai cerita tentang hantu legendaris pondok segala.
Keadaan kamar begitu gelap. Cahaya temaram dari koridor di luar kamar menyelusup masuk melalui celah pintu. Kebelet pipis Ina semakin tak tertahan tapi ia takut pergi ke kamar mandi. Tangannya memeriksa celana. Aman, tidak tembus. Ia sedang berhalangan bulanan. Rasa kebelet pipisnya semakin tak tertahan.
Sekujur tubuh Ina kembali merinding. Cerita Dinda tentang Hantu Mursinem kembali melintas. Hantu Mursinem, hantu yang gemar mencuri pembalut bekas milik santriwati untuk disesap-sesap darahnya.
Bulu kuduk Ina kembali meremang. Ia bisa membangunkan ketua kamar untuk minta ditemani. Tapi, besok pagi saat antre kamar mandi pasti ia diledek habis-habisan. Nggak mau, ah.
Dinda harusnya bertanggung jawab. Tapi, gadis itu tidur terlalu pulas, sampai mulutnya me-ngowoh-ngowoh.
Sore tadi, selepas murajaah Dinda mengantar temannya kembali ke kamar. Ina hendak mengganti pembalut.
"In, kamu pernah denger cerita tentang Hantu Mursinem?" tanya Dinda tiba-tiba.
“Cerita hantu?” Ina menggeleng. "Nggak tahu. Nggak pengin tahu."
“Ih, serem banget, tau’. Tadi aku dapet cerita dari si Mai. Dia, kan, anaknya seneng banget ngumpulin cerita hantu di pondok."
Ina bergidik ngeri. "Aku nggak suka sama si Mai. Anaknya jorok gitu nggak, sih? Kayak, dekil aja gitu penampilannya. Kayak penampakan hantu-hantu."
"Hush," Dinda mengingatkan sambil cekikihan. "Nggak boleh body-syeming!"
"Makanya, aku nggak pengin tahu cerita tentang hantu dari si Mai."
"Ih, tapi ceritanya seru!" Dinda masih gemas ingin sahabatnya menyimak cerita yang tadi didengarnya. "Hantu Mursinem itu suka muncul malem-malem. Kalau ada santriwati yang lagi menstruasi, wah langsung diincer tuh."
Sekujur tubuh Ina meremang. "Kenapa?"
"Tengah malam, pernah ada santriwati kebelet pipis. Ia lagi menstruasi. Ia keluar kamar dengan setengah mengantuk gitu. Pas di koridor, sih, aman-aman aja. Pas di kamar mandi, pintunya diketuk dari luar. ‘Masih ada orangnya!’ si santriwati berteriak ngasih tahu.”
Ina dan Dinda menyingkir sambil memberi hormat ketika berpapasan dengan pengurus pondok.
“Pintunya terus diketuk,” lanjut Dinda sambil meneruskan perjalanan ke kamar. “Pas sudah selesai, pintu kamar mandi dibuka sama si santriwati. JENG! JENG!”
Ina memekik karena Dinda berteriak keras sekali tepat di kupingnya.
“Hantu Mursinem berdiri di depan pintu. Bajunya koyak. Jilbabnya mencong. Rambutnya yang kelihatan tergerai berantakan. Mulutnya meneteskan darah.”
Ina mulai takut tapi tak ditunjukkan. Ia tak boleh kelihatan lemah di depan sahabatnya yang usil.
“Daaaraah… hauuuss….” Dinda membikin suaranya serak, sambil digetar-getarkan supaya mirip suara hantu. “Mau minum daaaraahh….”
Cerita Dinda terhenti ketika melihat Ina mengambil pembalut dari dalam lemari.
“Eh, kamu lagi mens, ya?” Dinda cekikihan merasa bersalah. Begitu heboh ceritanya tentang hantu pengisap darah menstruasi padahal jelas-jelas ia mengantarkan Ina untuk mengganti pembalut.
“Kamu kira apa!?” sembur Ina. Kedua matanya mendelik menakutkan.