CKIIITT…!
Dinni kesulitan mengendalikan kemudinya. Mobil melaju kencang tanpa arah –
BRUAAKK!
Malam belum begitu larut ketika Dinni mengalami kecelakaan tunggal. Mobilnya menumbuk pohon besar di depan minimarket yang sudah tutup. Tak jauh dari kompleks rumahnya.
Dahi Dinni terantuk kemudi. Wajahnya basah oleh darah.
Pandangan gadis itu redup. Kepalanya sakit sekali, seperti hendak pecah. Mulutnya merintih, bicaranya tak jelas.
“Ini semua salahmu, Dul. Ini semua salahmuuu….”
Lampu sign mobil berkedip-kedip. Kepala Dinni kembali berdenyut hebat. Gadis itu mencoba meraih ponselnya. Ia harus menghubungi Dul. Cuma cowok itu yang bisa membantunya dari kecelakaan. Cuma Dul penyelamat hidupnya. Dul si cinta matinya Dinni.
“Tolong aku, Dul. Tolong. Tolooong…. Aku kecelakaan. Sayang, plis. Masa kamu tega biarin aku terluka parah? Dul, kamu boleh abaiin aku, tapi sekarang aku benar-benar butuh kamu. Sekali ini aja, plis….”
Dinni sepenuhnya kehilangan kesadaran ketika bantuan datang.
Mami tergeragap bangun ketika bel rumah berbunyi dengan berisik. Bibik hendak mengetuk pintu kamar tapi Mami sudah menghambur keluar.
“Ada apa, Bik?” tanya Mami panik. Papi menyusul di belakang. Pak Madi, sopir pribadi keluarga turut tergopoh-gopoh dari arah kamar mandi.
“Mbak Dinni kecelakaan, Bu,” kata Pak RT.
Mami rasanya hampir pingsan mendengar penjelasan Pak RT. Papi segera ambil kendali. Ia meminta Bibik menyiapkan pakaian Dinni untuk ganti saat dirawat di rumah sakit, bila diperlukan.
“Pak...,” Pak Madi memanggil dengan takut, “Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau Non Dinni diam-diam – “
“Tidak apa-apa, Pak Madi,” potong Papi dengan bijak. “Nggak cuma sekali ini gadis bandel itu keluar membawa kendaraan diam-diam.”
“Seharusnya saya tidur di garasi saja.” Pak Madi menyatakan penyesalannya.
“Tidak, Pak. Bapak terlalu capek karena mengantar saya selama tiga hari berturut-turut tugas keluar kota.” Papi tahu mengapa Pak Madi sampai kecolongan, beliau terlalu letih sehingga tidur lebih awal. “Sekarang, Bapak menunggu bersama Bibik saja. Siapa tahu saya butuh bantuan – “
“Mami ikut, Pap,” sela Mami tidak sabaran. Anak gadisnya diam-diam membawa kendaraan sendiri sampai kecelakaan. Aduuh, bandel sekali! Mami ingin mengomel tapi rasa khawatirnya jauh lebih besar.
“Mami di rumah saja kalau masih mengantuk,” kata Papi mengganti pakaiannya.
“Mami mau ikut!” kata Mami bersikeras.
Papi mengelus punggung Mami, menenangkan. Tak lama kemudian mobil meluncur keluar menuju tempat kejadian. Bibik segera menutup pintu rapat. Perempuan paruh baya itu berjaga sepanjang malam bila sewaktu-sewaktu bantuannya diperlukan. Pak Madi tidur di ruang tamu. Tubuhnya masih butuh istirahat tapi bila tenaganya sewaktu-waktu dibutuhkan, ia siap.
Mami tak sedikit pun memejam selama menunggui Dinni dirawat di rumah sakit. Papi mengurus kamar dan perawatan nomor wahid untuk putri bungsu mereka yang badung.
Untung tidak kenapa-kenapa, kata Dokter. Hanya membutuhkan istirahat yang lebih dari cukup selama beberapa hari ke depan.
"Untung tidak kenapa-kenapa." Mami meringis saat mengulangi pernyataan Dokter. "Meski kecelakaan, masih ada untungnya ya, Dok."
Mami mencoba bergurau, untuk menghibur hatinya sendiri.
Dokter mengangguk sembari mengulas senyum sopan.
"Anak perempuan bungsu saya ini memang bandel, Dok," keluh Mami. "Aadaaa aja tingkah lakunya yang membikin deg-degan setiap hari. Kemarin berantem dengan pacarnya, sebelumnya berkelahi dengan teman-teman perempuan di sekolahnya, sekarang ini. Pusing saya, Dok."
"Jangan lupa, Ibu juga harus beristirahat," tanggap Dokter. "Jangan sampai pasien saya nambah."
Mami baru bisa tersenyum lepas. "Terima kasih perhatiannya, Dok. Saya akan berjaga sebentar lagi sampai Papinya Dinni datang."
"Baik, Bu. Kami permisi dulu. Mari."
Mami mengangguk, mengantar kepergian dokter dan perawat yang baru saja memeriksa putrinya.
Kamar kembali lengang. Acara televisi tak ada yang menarik. Perut Mami lapar tapi tak berselera menyantap makanan yang tersedia di meja dan kulkas di dalam kamar.
"Mamiii...."
Kepala Mami terhentak ke belakang, tak sengaja jatuh tertidur ketika Dinni menggumam lirih.
"Mamiii... " panggil Dinni kembali. Gadis itu berusaha bangkit tapi kemudian ambruk lagi. "Pusing, Mamiii...."
Kantuk Mami segera lenyap. Ia membetulkan posisi putrinya. "Jangan duduk dulu. Dokter bilang kamu harus berbaring sampai sembuh."
"Sampai sembuh?" Suara Dinni parau. Ia meneguk sedikit air putih dari gelas, dibantu Mami. "Memangnya aku sakit apa?"
"Mobil kamu menabrak pohon dekat mininarket nggak jauh dari rumah. Tak ingat?"
Dinni menggeleng lemah. "Kepalaku pusing, Mami. Kenapa aku disuruh mengingat-ingat?"
"Ya."
"Mami kok ngejawabnya cuma ya? Mami marah? Mami marah kenapa?" Dinni terus mengoceh dengan suara lemah. "Kepalaku kenapa pusing? Ahh, sebentar lagi pasti sembuh. Aduh, aku harus berangkat sekolah. Tapi, kata Mami aku sakit."