Dua hari lalu Dinni pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah membaik hanya perlu menambah istirahat di rumah sebelum kembali ke sekolah.
Keputusan memasukkan Dinni ke pondok pesantren sebenarnya tidak disetujui Mami tapi penjelasan Papi dari Ustaz sangat masuk akal.
Sebagai gadis usia remaja, hormon Dinni sangat tidak stabil. Keinginan memberontaknya sangat kuat. Terlebih lagi fokus hidup gadis itu hanya melulu tentang cowok.
“Jatuh cinta itu hal yang lumrah. Tidak perlu menyalahkan fase yang memang harus dijalani remaja. Hanya saja memang perlu diarahkan.”
“Pak Ustaz cuma omong kosong!” bantah Dinni. Gadis itu menoleh ke arah Mami, tapi Mami setuju dengan pernyataan tadi.
Dinni menjadi sangat marah dengan keputusan Papi; biar nggak kepikiran cowok dan membikin masalah terus, ia harus masuk pondok pesantren!
“Kenapa malah Dinni?” protes gadis itu. “Seharusnya yang akhlaknya harus dididik itu Papi!”
Dinni ingin menyemburkan peristiwa yang terjadi setahun lalu, tapi ia tahu itu percuma. Mami memutuskan untuk tidak melawan Papi, “Yang penting perhatian Papimu masih penuh untuk keluarga ini”, begitu kata Mami selalu.
Kedua kakaknya tidak peduli.
Saat mendengar keputusan Papi yang sudah bulat, Dion dan Dita hanya mengangkat kedua bahunya, “terserah, deh.” Mereka sudah disibukkan dengan tugas kuliah dan skripsi untuk sekadar membela ketidaksetujuan adik bungsu mereka.
Toh, ada Mami, pikir mereka, yang pasti akan membela Dinni.
Ternyata Mami setuju dengan keputusan Papi, meski dengan tangis yang berderai-derai.
Dinni ingin marah semarah-marahnya marah. Ia cuma melakukan kenakalan kecil, tapi ‘hukumannya’ begitu besar.
“Toh, kamu juga tak cocok dengan kawan-kawan sekolahmu, kan?” sentil Papi.
Dinni ingin menyemburkan kekesalannya dengan berucap tujuan Papi sebenarnya hanya ingin menyingkirkan Dinni, supaya bisa mengencani seluruh teman perempuan Dinni tanpa ketahuan Mami, tapi gadis itu menahan diri. Ia tidak mau melihat Mami mengisak sampai memukul-mukul dadanya lagi karena sakit hati dengan perbuatan Papi.
“Sekolah di pondok pesantren nggak seburuk yang kamu bayangkan,” kata Mami masih dengan sisa isak tangisnya. Tak terbayangkan oleh Mami ia harus melepas anak bungsu kesayangannya. “Meski, ya, Mami inginnya kamu sekolah dekat Mami aja.”
“Permasalahannya bukan sekolah di dekat Mami atau jauh,” kata Papi dengan gusar. “Tapi, anak perempuan kita sudah bertingkah keterlaluan!”
Mami dan Papi masih terus membahas pentingnya bersekolah di pondok ketika mata Dinni mulai berat. Ia baru saja makan dan minum obat.
“Mau ke mana, Sayang?” tanya Mami.
“Mau mengaji biar semakin soleha” kata Dinni sinis. Dengan menggunakan kruk, gadis itu masuk kamar.
Di atas tempat tidur, gadis itu termenung-menung. Ia mengingat kejadian-kejadian tidak mengenakkan yang akhirnya malah membuatnya dimasukkan pondok!
Centang satu!
Ingin rasanya Dinni membanting ponsel, Dul memblokir nomor barunya! Apa salahnya, sih, ngajak balikan!? Sampai harus diblokir segala nomor baruku, rutuk Dinni kesal.
Krucukkkk….
Perut Dinni keroncongan. Pelajaran hari ini beneran menguras pikiran dan energi. Seporsi mie ayam bakso dan es teh sepertinya akan mengenyangkan sebelum masuk ke pelajaran berikutnya.
Kantin penuh dengan murid-murid. Dinni memesan makanannya dan duduk sendiri di bangku yang terabaikan.
“Hei, Wewe Gombel!”
Dinni mendongak. Seli dan Dina melewati bangkunya. Mereka membawa kaleng minuman soda.
“Wewe Gombel nggak punya teman, ya?” ejek Dina. Mereka berdua lalu ketawa.
Dinni menggertak keduanya sambil melotot.
Seli dan Dina tertawa semakin keras. Dinni tak berkutik karena ancaman guru BK. Kemarin ia baru saja menjambak rambut adik kelas yang tengil sampai menangis.
Sekali lagi membikin onar, gadis itu akan mendapat skorsing selama seminggu.
Klunting.
Notifikasi ponsel mengalihkan perhatian Dinni dari sepasang kuntilanak penyuka soda di depannya.
“Oh, Ayang Dul…,” Seli pura-pura menengok isi ponsel Dinni. “Aku kangen kamu, Ayang Dul!”
“Tapi, Ayang Dul nggak kangen kamu! Ayang Dul sudah jadian sama Mita, bidadari kelas 11!” tambah Dina dengan tertawa keji.
Dua gadis itu berlalu karena tak mendapat tanggapan dari yang mereka ganggu. Perhatian Dinni terpaku penuh pada pesan dari WhatsApp Group yang dibacanya.
Pelayan meletakkan semangkok mie ayam bakso dan segelas es teh pesanan Dinni.
“Makasih,” kata gadis itu tanpa mengangkat kepala.
Invitation!
Sweet 17th Mita’s Birthday Party
Satu angkatan diundang ke ulang tahun Mita. Temanya pesta kostum bertopeng. Diadakan di Hotel Edelweis. Bla bla bla..
Semua berseru gembira. Tidak sabar hendak datang ke pesta ulang tahun yang pasti meriah.
Semua diundang kecuali Dinni.
Sania, sahabat Mita, mengirim pesan di WAG, disambut tawa terbahak-bakhak teman-teman yang lain.
Biarin dia dateng lah, biar panas melihat Mita sama Dul.
Biar nggak ngejar-ngejar Dul lagi!
Komentar-komentar jahat yang lainnya terus bermunculan. Seolah tak peduli remaja yang mereka kecam masih berada di WAG yang sama.
Dinni menikmati mie ayam baksonya dengan hati kesal. Tapi, setidaknya ia sudah menyusun rencana untuk mengacau pesta ulang tahun tersebut!
***
Tak bakal ada yang mengenali Dinni dalam kostum ini. Ia memastikan seluruh mukanya tertutup topeng. Make up gelapnya semakin membuatnya tampak asing.