Pembalasan Setimpal

Desi Puspitasari
Chapter #4

TIBA DI PONDOK

Dinni menekuk muka sepanjang perjalanan. Perasaannya muram. Meski tak bisa berkutik, ia benci ketika akhirnya hari kepindahan itu tiba.

Perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta berjalan lancar. Tak berhenti di kota untuk menikmari setiap jengkal destinasti menariknya, mobil mereka terus meluncur ke Kulon Progo.

Selama beberapa hari terakhir Mami mengepak barang bawaan Dinni dibantu oleh Bibik. Sementara kakak-kakaknya hanya berhenti sebentar untuk menengok. Mereka cekikihan setiap kali ingat bahwa adik mereka akan dikirim ke pondok pesantren karena bandel.

Dinni tak ambil pusing dengan sikap kakak-kakaknya. Ia lebih pusing dengan seragam yang harus dikenakannya saat di pondok. Nggak modis sama sekali!

“Kalau Mita atau Sari tahu penampilanku jadi kayak anak petani begini, gimanaa…?” keluhnya.

“Mereka nggak akan tahu, kan, mereka nggak di sekolah di pondok.”

Oh. Iya. Dinni terdiam. Perkataan Mami ada benarnya.

"Lagipula apa salahnya berpenampilan seperti anak petani? Harusnya malah bangga karena pekerjaan bertani itu halal, kita jadi bisa makan sajian enak-enak."

Dinni malas menjawab pertanyaan retoris Mami.

Setelah berjam-jam berkendara akhirnya Pak Madi menghentikan mobil di salah satu rumah makan. Mengisi perut sebelum kemudian lanjut ke tempat wisata Kali Biru.

“Woiii…!” Seru Dinni di atas gardu pandang Kali Biru. Ia sungguh takjub dengan pemandangan indah yang terhampar di depan matanya. “Bagus bangeettt!”

Yah, Kulon Progo kayaknya nggak buruk-buruk amat. Kalau tempat wisatanya seindah ini, pondok pesantrennya juga pasti bukan tipikal horor.

Perasaan Dinni mulai riang tapi mukanya kembali tertekuk saat harus mengganti pakaian. Sebentar lagi mereka akan menuju pondok jadi ia harus mulai mengenakan pakaian warna monoton. Rok panjang warna hitam, tunik sedengkul, dan jilbab segiempat warna monokrom.

“Jelek banget!” keluh Dinni untuk ke sekian juta kali saat berkaca. Ia seperti tenggelam dalam seragam barunya. "Kayak orang-orangan sawah!"

“Cantik, kok,” tanggap Mami, “gadis soleha.”

Mami tak dapat menahan rasa geli melihat ekspresi si bungsu.

Dinni hanya bisa mengembus napas kesal. Ia mengecek ponsel. Sepi kayak kuburan. Tak ada notifikasi chat dari teman-tekan sekolahnya yang lama. Ia juga sudah keluar dari WAG kelas dan angkatan. Tak ada yang merasa kehilangan atas kepergiannya.

Dinni melempar pandangannya keluar jendela, memerhatikan jalan menuju ke pondok.

“Jauh banget?” komentar Dinni yang merasa perjalanan mereka tak juga sampai.

Jalan semakin sepi. Udara mulai terasa dingin.

“Pondoknya di kaki lereng bukit Menoreh,” jawab Papi dengan pandangan terus lurus ke depan. Ia memandu maps untuk Pak Madi.

Di kaki lereng bukit Menoreh, apa itu artinya pelosok banget?

Pertanyaan Dinni segera terjawab begitu mereka tiba di tempat tujuan.

Pondok Pesantren Bendung Kahyangan terletak di kaki lereng bukit Menoreh. Artinya memang benar-benar pelosok. Bangunannya besar dan luasnya tak terkira-kira. Meski sederhana, tak nampak kumuh seperti gedung lama tak terpelihara.

Memang nggak kumuh, tapi kampungan, kecam gadis itu dalam hati.

Sekitar pondok dikelilingi hutan yang mulai gelap menjelang sore begini.

Kabut mulai turun. Dinni merapatkan jaket yang dikenakannya.

“Kenapa namanya Bendung Kahyangan?” tanya Mami penasaran.

Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan Mami.

“Nanti kita tanyakan pada kepala sekolahnya,” kata Papi.

Mobil melewati gerbang Ponpes Bendung Kahyangan. Pada bagian depan terlihat minimarket pondok. Dinni sedikit merasa lega. Akhirnya ia melihat hal familiar yang juga ada di kota.

Lapangan depan terlihat lengang. Suara mengaji yang kompak terdengar dari bangunan seperti aula.

Pengurus pondok menyambut kedatangan mereka.

“Maafkan kami jadi merepotkan, Pak Ustaz,” kata Papi seraya menjabat tangan Ustaz Sobirin.

Boten punapa-napa, tidak apa-apa, Pak.”

Ustaz Sobirin mengarahkan keluarga Dinni menuju ruang tamu. “Ustaz Ilham sudah bercerita banyak. InshaAllah putri Bapak berada di tempat yang tepat.”

Dinni mengikuti Papi dan Mami menemui Pak Kiai, pimpinan pondok pesantren Bendung Kahyangan. Beberapa kali langkahnya hampir terserimpet rok panjang yang dikenakannya.

Pak Kiai bersama Bu Nyai menyambut dengan hangat. Di luar ruangan terdengar riuh suara santriwati.

“Mereka baru selesai tahfidz Al Quran dan hendak makan sore. Kemudian salat maghrib berjamaah.”

Papi dan Mami mengangguk-angguk. Dinni melihat sekelilingnya, tidak betah. Bangunannya memang tidak kumuh dan lusuh tapi terbilang ndesa bila dibandingkan dengan sekolahnya yang lama.

Pak Kiai menjelaskan tentang muasal berdirinya Ponpes Bendung Kahyangan.

Dulu sekali seorang perantau lulusan pondok pesantren di Jombang kuliah di Yogyakarta. Selepas kuliah, ia mengabdi sebagai pegawai negeri di kantor urusan agama. Luwes dalam bergaul membuatnya memiliki banyak teman. Mulai petani, pejabat, hingga preman yang ingin bertobat. Sosoknya begitu dihormati dan disegani. Hingga di kemudian hari, ia mendirikan pondok pesantren yang terjangkau untuk siapa saja. Baik secara ekonomi maupun latar belakang siswanya.

Pondok Pesantren Bendung Kahyangan bertahan sampai sekarang. Lulusannya banyak yang menjadi orang sukses, meski juga ada yang tetap menjadi begundal.

“Kami tidak menutup-nutupi hal tersebut, karena memang begitulah hidup di dunia. Ada yang baik, ada yang buruk. Kita pun bisa belajar dari berbagai macam bentuk kegagalan.”

Pak Kiai tertawa sopan.

“Bersekolah di pondok pesantren baiknya atas kemauan anaknya sendiri, tentu atas tuntunan dari orangtua. Karena, sekarang banyak yang bergeser menjadikan pondok pesantren seolah-olah tempat pembuangan atau rehabilitasi untuk anak yang nakal.”

Dinni berdeham dengan sengaja.

“Tapi, tidak apa-apa. Daripada tidak sama sekali,” lanjut Pak Kiai.

Dinni menunggu Papi membalas tapi malah Ustaz Sobirin yang berdeham-deham.

“Murid-murid kami datang dari berbagai latar belakang. Ada yang datang dari keluarga bahagia seperti orangtua Mbak Dinni, ada yang dipaksa masuk orangtuanya daripada sering membikin onar di lingkungan, ada yang datang dari keluarga petani miskin –kami membebaskan banyak anak-anak di sini dari biaya sekolah, dan masih beragam yang lain. Jadi, saya harap, Mbak Dinni tidak heran kalau melihat ada santriwati kami yang bertato, misalnya. Semoga Mbak Dinni bisa membaur.”

Mami tak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. “Kenapa namanya Bendung Kahyangan, Pak Kiai?”

Bu Nyai mengulas senyum. “Bapak dan Ibu malam ini jadi beristirahat di sini, kan? Besok pagi, seusai salat subuh berjamaah Bapak dan Ibu akan melihat mengapa namanya Bendung Kahyangan.”

Mami terlihat begitu semangat. Sementara Dinni sudah memutar otak bagaimana caranya bisa kabur.

Tok, tok, tok….

Ustaz Sobirin memperkenalkan Putri, ketua asrama putri, yang akan mengantar Dinni ke kamarnya

“Mbak Putri ini salah satu santriwati kami yang mengajinya tenanan (bersungguh-sungguh), sekolahnya tenanan, nggak pernah bolos jamaah, aktif di semua kegiatan,” puji Bu Nyai. “Tolong antar saudara baru kalian ini ya, Nduk.”

Inggih (baik), Bu Nyai,” jawab Putri takzim.

“Saya nggak bisa Bahasa Jawa,” kata Dinni serta-merta.

Putri menutup mulutnya menahan geli. “Nggak apa-apa, Mbak. Selain Bahasa Jawa, kami juga menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab. Mari saya antar ke kamar, sebelum keburu masuk waktu salat.”

Dinni mengikuti Putri dengan enggan. Ketua asrama menunjukkan kamar yang akan ditempati Dinni.

Lihat selengkapnya