Para santri berseru riuh rendah. Seorang santriwati mengenakan jilbab warna-warni meringkuk malu dalam angkong. Wajahnya ditutupi telapak tangan.
Angkong didorong seorang santri berpeci melewati barisan para penghuni pondok. Plontos di kepalanya terlihat anyar.
Mereka sedang menjalani takzir atau hukuman karena ketahuan saling berkirim surat cinta.
Pondok pesantren Bendung Kahyangan terbagi menjadi dua; santri dan santriwati. Gedungnya bersebelahan tapi cukup terpisah.
“Lucu banget! Ha-ha-ha!”
Dinni memandang kecut. Ia tidak tahu di mana letak lucunya. Santri jamet begitu, kok, ditaksir. Letak gantengnya di sebelah mana?
Takzir atau hukuman di pondok ini mengharuskan santri putri yang sedanv menjalani hukuman mengenakan jilbab warna-warni, sementara santri putra diplontos.
Trias, kepala keamanan pondok putri, mengawasi dengan tegas. Dengar-dengar, gadis itu punya tato ular berukuran besar di lengannya.
Dinni tak tahu kebenaran desas-desusnya. Ia tak pernah melihat karena tak pernah bersinggungan. Tak pula sekamar.
Tapi, kalau mengingat pesan Bapak Kiai untuk tidak kaget saat menemui santriwati bertato, bisa jadi dengar-dengar mengenai tato itu benar.
Masih dengar-dengar, bapaknya Trias merupakan gentho desa yang kondang akan kejahatannya, yang kini sudah bertobat.
Saat masih bersekolah umum, Trias pernah tertangkap saat melakukan aksi klithih bersama gengnya. Atas jaminan bapaknya, ia bebas begitu saja. Ketimbang terus mrusal, bapaknya memasukkan anak gadisnya ke pondok pesantren Bendung Kahyangan.
Sebisa mungkin Dinni menghindari gadis itu. Wataknya pongah, sikapnya tak ramah. Sepertinya Trias dan anak buahnya pun tak ambil pusing. Tak pernah ada cerita petugas keamanan pondok disukai teman-teman santri lainnya.
Dinni tidak takut dengan desas-desus tato di lengan Trias. “Cuma tinta ditempelkan kulit,” gumamnya tidak terkesan. Ia hanya tidak ingin berurusan dengan Trias dan anggota keamanan pondok lainnya. Sebenarnya, Dinni tak ingin berurusan dengan siapa pun.
Sayangnya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Atas kesalahan-kesalahan yang kerap dilakukannya baik sengaja pun tidak, gadis itu akhirnya hampir selalu bersinggungan dengan petugas keamanan pondok.
Pagi pertama tanpa Mami Papi di pondok, jantung Dinni hampir meloncat keluar dari tempatnya. Sungguh, ia tak pernah berniat membolos salat subuh, ia cuman jatuh tertidur di samping lemari.
TRAKKK!!
Tongkat rotan memukul pintu lemari pakaian Dinni.
Gadis malang itu tergeragap bangun. Kepalanya terantuk pinggir meja. Mulutnya mengaduh kencang.
Tina, pasukan keamanan pondok, membangunkannya dengan paksa.
Dinni berjalan terseok mengambil wudu. Matanya setengah tertutup ketika ia duduk berzikir di masjid sambil menunggu waktu salat tiba.
Meski kelak di kemudian hari gadis itu benci tinggal di pondok, pada pagi hari yang dingin dan berkabut itu ia terkesan dengan berjanjen. Lantunannya merdu sekali.
Berjanjen atau berzanji adalah lantunan salawat untuk mengenang riwayat Nabi Muhammad SAW.
“Orang Jawa dulu nggak bisa nyebut berzanji, makanya disebutnya jadi berjanjen,” kata Gita.
Dinni yang penasaran bertanya pada ketua kamarnya.
“Biasanya dilantunkan saat mauludan, khitanan, atau nikahan. Tapi, pondok ini punya tradisi untuk membawakan menjelang salat subuh. Ada juga pondok yang tidak melantunkan berjanjen, tergantung tradisi pondoknya aja."
Saat dijelaskan, Dinni mengangguk-angguk.
Sejak saat itu, mendengarkan lantunan berjanjen menjadi favorit Dinni.
Langit gelap dengan semburat merah di ufuk timur, kabut dingin yang perlahan naik, udara sejuk pagi hari, pujian-pujian kepada Nabi, pikiran menjadi tenang, hati begitu damai....
“Bangun!”
Gadis itu melonjak kaget sambil membuka mata. Ia jatuh tertidur ter-ngowoh-ngowoh saat turut melantunkan berjanjen.
Sambil menggerundel, Dinni memaksa kedua matanya yang berat membuka lebar saat harus kembali mengambil wudu.
Rutinitas yang tak disukai Dinni berikutnya adalah antre kamar mandi. Sebagai murid baru ia selalu mendapat urutan mandi paling terakhir.
“Ba’daki!” seru santriwati yang tiba-tiba nyelonong masuk kamar mandi yang baru saja kosong.
Antrean Dinni mundur lagi.
“Ba’da anti!”
Saking lamanya menunggu, Dinni ketiduran sambil berdiri menyandarkan kepala di tembok. Kelepak jemuran yang pernah membuat gadis itu ketakutan menghantar semilir angin yang menerbitkan kantuk. Ketika terbangun, santriwati terakhir mengembalikan sabun cair dan sampo ke dalam wadah mandi milik Dinni.
“Syukron!” teriak Dinni kesal.
“Afwan...,” santriwati senior itu mengangguk penuh hormat sambil bergegas pergi.
Dinni celingukan lalu mengembus napas lega. Tak ada lagi yang mengantre. Sayangnya kamar mandi masih dipakai semua. Pintu-pintunya tertutup rapat.
Dinni bergeser-geser bosan menunggu kamar mandi mana yang lebih dulu terbuka.
Menit demi menit berlalu. Suasana semakin sepi.
Seorang santriwati berlari datang dengan terburu-buru. “Aduh! Aduh!” serunya menahan kebelet pipis.