Dinni menyelesaikan tugas simpul dengan cekatan. Hari Sabtu siang sampai sore jadwalnya pramuka. Jilbab dan seragamnya senada, berwarna cokelat. Setangan leher yang dikenakannya lebar seperti permadani.
“Soalnya dipakainya di luar jilbab, dikalungin begitu. Kalau pakai hasduk yang biasa nggak kelihatan,“ jelas Yayuk yang masih kesulitan mengerjakan tugas tali temali.
Khusus untuk pondok, santriwatinya mengenakan hasduk lebar yang biasa dikenakan anggota pramuka laki-laki.
“Gita mana?” tanya Dinni. Ia tak melihat ketua kamar di barisan santriwati berseragam cokelat lainnya.
“Tadi disuruh Ning mengambil printer yang sudah selesai diservis di kota,” jawab Maya yang juga kesulitan berkutat dengan tali temalinya. Minem datang membantu.
Kakak pembina pramuka memuji pekerjaan Dinni. Gadis itu bangga. Yah, setidaknya ada yang bisa diandalkan dari dirinya, meski tidak tahu apa gunanya tali temali itu di kehidupan sehari-hari.
“Mau ke mana?” tanya Minem ketika Dinni bergegas-gegas pergi.
“Perutku mulas!”
Seorang santriwati berseragam pramuka menyapa ketika mereka berpapasan di kamar mandi. Dinni membalas sapaan itu dengan ramah sebelum menutup pintu.
Lumayan. kalau ada yang mencarinya, santri itu bisa bantu menjawab, “Tadi aku lihat terakhir Dinni di kamar mandi, kok.”
Krieekk....
Pintu kamar mandi berderik ketika dibuka. Setelah beberapa saat menunggu, tak ada siapa-siapa lagi di sana. Seruan tepuk pramuka terdengar membahana dari arah lapangan.
Dinni menyambar jaket di kamar lalu menyelinap pergi.
Pondok pesantren Bendung Kahyangan memiliki tujuh pos penjagaan. Anggota keamanan pondok berjaga di masing-masingnya.
Pos Kahyangan berada di gerbang utama, Pos Sidoarum di dekat masjid, kemudian Pos Sidomulya, Pos Sidorejo, Pos Sidoluhur, Pos Sidokarto, dan Pos Sidoagung.
Sore ini, melintasi Pos Kahyangan adalah pilihan untuk mempercepat kiamat. Trias dan Tina berjaga di sana. Pos Sidomulya yang berada di bagian belakang pondok putri juga pilihan buruk. Teriakan Titih selalu melengking tinggi. Siapa pun akan segera tahu ada murid pondok hendak kabur.
Pos Sidokarto atau sering disebut pos kandang ayam satu-satunya gerbang yang bisa dilewati dengan aman. Tia, penjaganya, barusan ngibrit ke kamar mandi. Perutnya sakit.
Seandainya tertangkap, Dinni sudah menyiapkan jawaban untuk berkilah. Ia hendak menjemput Gita yang kesulitan membawa printer.
Ternyata Dinni bisa menyelinap keluar dengan mudah. Alasan-alasan yang sudah disiapkan tak lagi diperlukan.
Gadis itu takjub saat menyusuri jalan desa. Udaranya sejuk dengan sawah membentang di sebelah kanan dan kiri. Hari menjelang gelap tapi langit sorenya masih begitu terang.
“Mau ke mana, Mbak?”
Dinni terperanjat. Seorang perempuan yang berdiri di pinggir sawah menyapa. Usianya sekitar 30-an tahun, mengenakan kerudung instan, kemeja bunga-bunga berlengan panjang, dan celana kain. Kedua kakinya yang mengenakan sandal jepit terlihat kusam dan kering.
“Eh... mmm.... jalan-jalan.”
“Aku lagi mau pergi ke penjahit untuk mengukur kebaya.” Perempuan itu tertawa dengan menutup mulut. “Ukurannya nggak bisa ngepas badan, harus dibuat agak longgar.”
“Oh.” Dinni tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Lagipula ia tidak peduli.
“Aku mau menikah, Mbak,” katanya lagi. “Oiya, namaku Ida. Aku mau menikah sama gus yang ada di pondok sana.”
"Nama cowoknya Gus?"
"Gus itu panggilan untuk anak Kiai pemilik pondok, Mbak," ralat Mbak Ida. "Setelah kami menikah, aku akan menjadi Bu Nyai."
“Bu Nyai pondok pesantren Bendung Kahyangan?”
Dinni merapatkan jaket supaya tak terlihat mengenakan seragam pramuka khas pondok. Hasduk yang seluas hamparan dosa sudah dilipat masuk kantong jaket.
“Bu Nyai pondok pesantren se-Indonesia lah." Mbak Ida mengikih girang. "Nanti datang, ya, ke nikahan kami.”
“Aku nggak bisa datang. Aku bukan murid pondok, kok,” kata Dinni berbohong.
Mbak Ida terdiam. Matanya yang ramah berubah menjadi bengis. “Kamu berbohong, ya!? Bohong! Bohong!”
Dinni merasa tidak nyaman. Ia bergegas pergi.
Perempuan itu mengikutinya di belakang. Mulutnya terus mengecam mengeluarkan kalimat-kalimat kasar.
"Bisa-bisanya seorang soleh mengatakan dusta!? Melukai hati seorang wanita lagi!"
Semakin Dinni mempercepat langkah, semakin perempuan itu mengejarnya.
“Bohong kamu, Mas! Katanya mau menikah sama aku! Ternyata kamu menikah sama Ning Rosyidah.” Kali ini perempuan itu mengisak. “Hancur hatiku mendengar berita pernikahan kalian! Kalian yang bahagia, sementara aku di sini memendam rasa sakit!”
Dinni membelok masuk warung mie ayam. Bapak dan Ibu Penjual mie ayam menengok. Para pengunjung yang hanya dua orang turut menoleh.
Wajah Dinni pucat. Ia ingin minta tolong tapi yang terlintas dalam pikirannya yang panik malah ia tidak tahu bahasa jawanya minta tolong.
"Ah... uh... saya....."
Ibu Penjual tanggap. Tangannya dikibaskan ke arah Mbak Ida. “Heh, mulih (pulang)! Digoleki (dicari) pak mbok-mu!”
Bapak Penjual mie ayam mengaduk es teh. “Ida kurang waras. Dia pernah mondok di luar kota. Naksir seorang gus dari tergila-gila sampai gila beneran. Akhirnya perempuan dipulangkan. Keluarganya sudah berusaha merawat tapi Ida sering sekali keluyuran sambil marah-marah."
Dinni menengok masih dengan ketakutan.
“Nggak apa-apa.” Ibu Penjual menenangkan. “Sshhh, mulih!”
"Kok, aku disengeni (dimarahin) ta, Buk?" Mbak Ida merengek. “Aku mau mie ayaamm....”
Dinni menoleh kembali. Perempuan itu meringis lapar sambil mengelus-elus perut.
“Saya pesan mie ayam satu,” kata Dinni cepat. “Minumnya es teh. Mbak itu juga.”
Ibu Penjual menoleh heran.