Sebelum Dinni diseret kasar tengah malam, Minem menyelinap keluar kamar tanpa suara.
Trias menunggu di lapangan. Bayang hitam pohon besar yang biasanya digunakan santriwati berteduh ketika aktifitas outdoor melindungi sosok kerempeng ketua keamanan.
Hati Minem menciut ketika berdiri di hadapan Trias. Ia hendak kembali ke kamar tapi deham ketua keamanan menahan langkahnya.
“Mereka -Gus Syamil dan Dinni- ketemunya di warung mie ayam. Gara-garanya Dinni dikejar Mbak Ida.” Suara Minem mencicit seperti tikus kejepit.
Cerita bagaimana Dinni bertemu Gus Syamil mengalir keluar dari mulut Minem.
Sepanjang sore hingga menjelang tidur tadi, Minem terus menempel teman barunya. Ia mengingatkan Dinni untuk berhati-hati menghadapi Trias, juga mencari tahu bagaimana temannya bertemu Gus Syamil.
Dinni merasa berterima kasih karena dilindungi. Ia menceritakan semuanya dengan polos.
“Beneran aku nggak tahu kalau Gus Syamil itu anaknya Pak Kiai,” terang Dinni sambil menumpuk buku pelajaran. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah. “Dia juga nggak bilang apa-apa waktu di warung. Juga nggak minta dihormati sampai kepalaku harus menunduk-nunduk.”
Dinni sengaja mendelik ke arah ketua kamar. Gadis itu masih jengkel karena Gita menekan kepalanya untuk memberi hormat dalam-dalam pada Gus Syamil dan keluarga Kiai lainnya.
Tanpa mengalihkan pandang dari mengerjakan PR, Gita meringis.
“Ya aku kira dia cowok biasa. Makanya aku tadi berterima kasih sambil bilang mantap. Memangnya salah?" tanya Dinni polos.
“Perbuatanmu mengacungkan jempol itu bisa dibilang lancang.”
“Dih?” Dinni mencibir mendengar penjelasan Minem. “Cuma karena dia anak Kiai terus perbuatanku yang begitu doang dibilang lancang?"
“Antara laki-laki dan perempuan ada yang namanya adab pergaulan. Menundukkan pandangan, nggak boleh ber-khalwat atau berduaan, menjaga komunikasi, dan berbusana sopan serta menutup aurat. Perbuatanmu tadi bisa dibilang buruk karena tidak menjaga adab komunikasi. Tata krama pergaulan muslim ini berlaku untuk semua, kok, baik untuk keluarga Kiai juga untuk yang sekelas Minem," jelas Gita, tanpa mengalihkan pandangan dari halaman buku pekerjaan rumahnya.
"Ih, kok aku?" protes Minem gelagapan.
"Kalau sama kakak kelas, ustaz, dan ustazah saja kita menaruh hormat, nggak ada salahnya, kan, kita juga menaruh hormat pada Kiai dan anggota keluarganya? Sebagai pimpinan pondok dan orang yang lebih menguasai ilmu agama. Jadi, ya tadi, perbuatanmu berseru-seru memanggil Gus Syamil nggak bisa dibilang tindakan yang 'begitu doang', harus diingatkan, harus diregur," tambah Gita lembut tanpa bermaksud menggurui. "Tapi, Gus Syamil memang humble, sih.”
"Nah, iya, kaann...!" sahut Dinni seolah perkataan Gita yang barusan adalah bentuk dukungan.
“Menurutku humble-nya masih biasa. Sayangnya banyak santriwati yang GR.”
"Termasuk Trias?" tanya Dinni.
Teman-teman sekamarnya tak ada yang menjawab.
Gita memberesi buku pekerjaan rumahnya. Tugasnya sudah selesai semua. Gadis itu meregangkan tubuh sambil menguap.
“A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim,” ujarnya mengucap ta'awudz dengan tangan menutup mulut.
"Biar setannya nggak ikut ketelen," jelas Maya yang melihat keheranan di wajah Dinni.
"Banyak santriwati yang GR --pih!" Harga diri Trias tersengat kalimat sindiran Gita.
Minem melanjutkan ceritanya.
“Gus Syamil mentraktir semua pembeli di warung mie ayam. Nggak cuma Dinni, tapi juga Mbak Ida.” Tangan Minem yang gemetaran disembunyikan di balik jilbab. “Sebelum mereka berpisah, Dinni meminta Gus Syamil menyimpan nomornya. ‘Jangan lupa chat aku ya, Mas’, katanya.”
Minem harus melebih-lebihkan cerita supaya ketua keamanan percaya.
Trias ber-hmm singkat.
“Mana suratku?” tagih Minem usai menceritakan semua yang ia tahu.
“Kenapa selalu ceroboh?”
Sore tadi, selepas ekskul pramuka, tangan Minem gemetaran karena senang surat cintanya dibalas akhi pondok sebelah.
“Baru dapat balasan surat cinta aja tanganmu gemetaran? Bukannya kamu mau jadi perawat?” cibir Trias. “Mending kamu sekolah jadi dokter hewan aja! Nyuntik sapi pakai suntikan segede kentongan poskamling lebih cocok buatmu, ketimbang nyuntik manusia pakai jarum kecil. Bisa-bisa meleset-meleset terus!”
Nyali Minem langsung melempem. Usai dikecam Trias, cita-cita Minem kini terkesan seperti omong kosong.
Trias menarik kembali uluran lipatan kertas yang dijepit jari-jari tangannya. Tangan Minem menyahut udara kosong.
“Bilang pada ketua kamarmu --”
“Gita?” pasti Minem. Suaranya mulai serak karena tak tahan direndahkan.
Trias mengangguk. “Nggak usah sok pahlawan dengan melindungi anak baru! Aku cuma menjalankan tugas! Kalau dia berani melawanku, akan kulaporkan Ustazah!”
Minem ingin mencela Trias sebagai pengadu, tapi sekarang ia sedang melakukan hal yang sama. Gadis itu hanya bisa mengangguk sambil menunduk.
“Sekali lagi aku menemukan bukti pacaran, tamat riwayatmu!”
Trias hanya menggertak. Selama Minem bisa menyediakan informasi yang dibutuhkan ketua keamanan, kebiasaan cerobohnya tak akan berakibat fatal.
“Maaf, Yas,” kata Minem pelan. Kepalanya menunduk menghindari tatapan tajam ketua keamanan.
Tuk.
Minem meraih lipatan surat yang diketukkan ke atas kepalanya.
“Syukron, Yas.” Minem membuka lipatan kertas. Tangannya kembali gemetaran Benar, ini balasan surat cinta dari akhi pondok sebelah.
Surat itu kembali disimpan dalam saku rok. Tidak boleh terjatuh lagi, apes-apesnya surat itu akan ditemukan ustazah.
“Aku nggak akan dihukum angkong cinta, kan?” Minem harus memastikan Trias menepati janjinya. “Kalau mamak mengirim geblek dan tempe sengek, akan kubagi denganmu.”
Tak ada jawaban. Minem mendongak. Trias sudah menghilang pergi.
Minem memutuskan untuk segera kembali ke kamar. Di tengah perjalanan, ia terperanjat kaget bahkan hampir terpeleset.
Gita menunggunya di ujung koridor. Sosoknya tampak gelap. Tempatnya temaram karena lampunya mulai prepet-prepet, besok harus dilaporkan ke tukang kebun supaya segera diganti.
"Git? Gita, kan?" panggil Minem lirih. Ia memastikan kedua kaki sosok di depannya menapak tanah.
"Sejak kapan Dinni manggil cowok yang lebih tua dengan sebutan 'Mas'?" tanya Gita tajam.
“Ahh, benar Gita. Aku kira tadi melihat setaann...!”
Minem mengembus napas lega. Sedetik kemudian tenggorokannya tercekat.
Dinni selalu memanggil cowok dan cewek yang lebih tua di pondok dengan sebutan 'Kak'.
Hati Minem kembali kecut. Ia baru menyadari kalau karangan ceritanya buruk sekali.
“Bisa-bisanya, Nem. Kamu tega makakke kanca (menumbalkan teman) demi keselamatanmu sendiri,” tegur Gita sedih.
“Aku... aku nggak...." Minem terbata-bata, tak mampu menyelesaikan kalimatnya.
“Kamu percaya sama Trias?” tanya Gita. “Dia bahkan berbohong tentang tato di tangannya.”
“Trias berbohong tentang tato di tangannya supaya disegani seperti kakak kelas yang punya beneran,” kata Minem dengan suara tercekik.
“Nah, itu tahu. Masih percaya kamu sama pembohong?”
Minem tak menyahut.
“Trias juga anggota geng klitih.”
“Itu, kan, sebelum dia masuk pondok,” kilah Minem.
“Kamu tahu korban-korbannya masuk rumah sakit dan ada yang hampir mati?”
Hampir seluruh santriwati seangkatan tahu tentang latar belakang Trias.
“Sekeji itu. Kamu masih memilih percaya sama ukhti mrusal kayak dia?”
“Tap... tapi....” Minem kesulitan hendak membalas serangan Gita yang bertubi-tubi. “Tap-tapi... seenggaknya dia dipercaya Ustazah untuk menjadi ketua keamanan! Itu artinya dia sudah bertobat! Trias sudah ada peningkatan akhlak!”
“Ustazah terlalu percaya sama penyelubung --casing kw cewek solehanya Trias.”
“Kam—kamu....” Minem tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. “Kamu mencela Ustazah! Aku laporkan omonganmu barusan ke Ustazah!”
“Laporin aja. Dasar pengadu,” balas Gita dingin. “Kamu pikir mamakmu akan bangga punya anak perempuan yang pengadu?”
“Nggak usah bawa-bawa mamakku!” jerit Minem tertahan. Air matanya mulai mengembang. Gadis itu tahu ia salah tapi ia tak mau temannya membawa-bawa orangtua dalam urusannya.