Srik... srikk... sriikk....
Dinni berjongkok menggosok lantai kamar mandi menggunakan sikat gigi bekas.
Malam telah begitu larut. Suasana begitu sepi.
Srik... srikk... sriikk....
Gadis itu mengernyit kesakitan. Lengan dan pinggulnya kembali berdenyut nyeri karena jatuh terpeleset.
Dinni menguap sekali lagi. Kedua matanya mulai berat dan berair. Ingin kembali tidur rasanya.
Remaja putri itu memberanikan diri. Ia mengendap meninggalkan kamar mand—
“Pekerjaanmu belum selesai!” desis Tina dengan volume suara rendah. Kedua matanya melotot. Ia tiba-tiba muncul di perbatasan ujung koridor dengan kamar mandi. “Nggak usah coba-coba kabur!”
"Lantai kamar mandi sudah bersih–"
"Belum!" bentak Tina, bahkan tanpa menunggu Dinni menyelesaikan kalimatnya. "Balik sana!"
"Haah!" Dinni mengeluh kesal. Ia menghentakkan kaki sebelum akhirnya kembali ke kamar mandi.
Trias menahan anak buahnya agar tak lanjut marah. Tidak boleh terlalu membikin keributan atau mereka akan ketahuan Ustazah.
Dinni kembali berjongkok. Tangannya sampai pegal karena menyikat lantai kamar mandi dengan sikat gigi bekas.
Gadis itu menguap lagi. Ia tidak tahu apakah harus mengucapkan kalimat ta'awuz saat berada di kamar mandi. Alhasil gadis itu hanya menutup mulut sambil menggumam tidak jelas.
Setiap malam Dinni tak bisa tidur tenang. Ancaman dari bagian keamanan pondok datang tak kenal waktu.
Selepas murajaah gadis itu jatuh tertidur saking mengantuknya. Sejam kemudian ia terbangun tiba-tiba karena kebelet pipis.
Dinni sempat takjub karena masih selamat berada di kasur.
Dengan mata setengah terpejam, ia bergegas menuju kamar mandi.
Ctlek!
Dinni baru saja menuntaskan hajat ketika lampu ruangan kamar mandi mati. Seluruhnya mati. Baik di dalam maupun di luar kondisinya gelap gulita.
“Ah!” gerutunya. “Pondok bobrok!”
Dinni mematikan keran air. Suasana kini menjadi begitu sunyi.
Hidung gadis itu mengendus-ngendus kecil. Ia menoleh ke pintu. Rasa-rasanya ada yang menelusup masuk melalui celah pintu kamar mandi.
Tak ada siapa-siapa tapi sekujur tubuh Dinni telanjur merinding.
Hidungnya kembali menghidu aroma melati yang ganjil. Wanginya begitu menyengat.
Lantai kamar mandi masih basah. Ia berjalan menuju pintu dengan hati-hati. Perlahan, penglihatannya mulai menyesuaikan dengan cahaya yang remang.
Aroma wangi ganjil yang menyengat terhirup kembali.
Tangan gadis itu gemetaran ketika hendak mencapai gagang pintu. Ia bisa menunggu di dalam kamar mandi sampai ada santri putri lain yang kebelet pipis. Mereka akan kembali ke kamar bersama-sama. Tapi, kedua mata Dinni sudah sangat berat. Ia ingin segera kembali tidur.
Cklek....
Pintu kamar mandi berderik pelan ketika dibuka –
Sliwer....
Tubuh Dinni mematung. Bulu kuduk di sekujur tubuhnya meremang. Napasnya terkesiap. Jantungnya hampir melorot jatuh hingga ke dengkul.
Sekelebat bayangan putih melintas di depan kamar mandi.
Tangannya mencengkeram gagang pintu dengan gemetaran.
Tutup pintunya, tunggu di kamar mandi sampai ada santri putri lain yang kebelet pipis!
Keluar sekarang! Itu bukan hantu –cuma bayanganmu aja!
Tutup pintunya!
Keluar sekarang!
Jantung Dinni berdentam-dentam penuh rasa ngeri. Dengan cemas gadis itu melongok hati-hati –
KKIAAKKK!
Sosok pucat muncul tepat di depan wajahnya. Tawanya melengking nyaring. Bola matanya merah. Kelopak matanya terbalik.
Dinni menjerit sejadi-jadinya—
GDUBRAKK!
Gadis itu jatuh terpeleset. Terjengkang dengan salah satu siku menahan tubuh.
"Aduh— duh, duh, duh!"
Dinni mengerang kesakitan. Pinggulnya nyeri. Punggungnya kena basah lantai kamar mandi. Siku tangan yang digunakan menahan tubuh berdenyut sakit.
Pintu kamar mandi yang terbuka karena tertarik saat Dinni terjatuh, terayun menutup —didorong dari luar hingga membuka lebar kembali.