GLUDUGG!
Dinni hilang keseimbangan. Ia memekik kaget sambil melindungi kepalanya. Buku-bukunya berhamburan. Gadis itu jatuh menjelungup dengan kedua siku menyodok anak tangga. Kedua bahu dan lututnya berdenyut nyeri. Untung kepalanya tidak menghantam pagar pembatas
Dinni mengerang penuh kesakitan. Ada yang sengaja mengulurkan kaki saat ia terburu-buru menuruni tangga. Ia mencoba bangkit ketika–
BRUKKK!
Dinni didorong dari belakang. Ia memekik ngeri. Tubuhnya kembali berguling jatuh.
Seorang santri putri hendak menolong. Teman yang lain langsung menarik tangannya sambil menggeleng mengingatkan. Trias berdiri pada bagian anak tangga paling atas dengan pandangan mengecam.
Santriwati itu dan yang lainnya menyingkir ketakutan. Mereka bergegas pergi.
Dinni mengaduh panjang. Pandangan matanya berkunang-kunang. Ia memejam sejenak untuk menghilangkan pusing di kepala.
Padahal lebam dan memar di tubuhnya belum juga kempis dan memudar.
“Aduuh... duh... duhh....!” keluhnya.
“Kok, ceroboh?" tanya Tina penuh perhatian. "Kamu terpeleset tali sepatumu yang lepas, tuh.”
Dinni terkesiap. Ia mencoba bangkit tapi tubuhnya limbung.
“Mau ke mana, sih? Kok, buru-buru? Sini, kuikat dulu tali sepatumu.”
Tubuh Dinni terhenyak duduk di anak tangga. Bahunya didorong dengan kasar.
Tina mengurai tali sepatu Dinni lalu mengikatnya kembali. Ia membantu mengumpulkan kembali buku-buku dan alat tulis yang terburai keluar dari dalam tas.
“Kita ke UKS, yuk!?”
Dinni berontak ketika Tina memapahnya pergi.
“Aku nggak sakit! Nggak apa-apa!” Gadis itu mendorong temannya pergi. Sayangnya, tenaga Tina sebagai anggota keamanan pondok jauh lebih kuat.
Lengan Dinni dicekal begitu kencang sampai gadis itu mengaduh kesakitan. Wajah Tina dipasang penuh kekhawatiran. Mereka menuju ruang UKS.
“Sana kalau mau jadi pengadu. Lapor aja ke Ustazah!” Bisikan Tina penuh tekanan, tapi bibirnya tersenyum. “Dasar lemah.”
Dinni melepaskan cengkeraman tangan Tina di lengannya. Sulit sekali.
Gita berlari kencang dari arah kamar. Ada buku pelajaran yang ketinggalan sehingga ia terlambat mengetahui teman barunya lagi-lagi dalam ancaman!
Minem berdiri menghalangi jalan.
“Mau mengadu, ya?”
Langkah Gita terhenti. Napasnya tersengal. Tak jauh di depannya Dinni sedang melangkah terseok-seok ditarik Tina dengan kasar.
“Berarti kita sama, dong? Sama-sama pengadu.” Minem meringis. “Makanya, besok-besok lagi nggak usah berlagak sok jagoan, ya.”
“Nganu...,” kata Gita pura-pura ragu. Tatapannya penuh kekhawatiran. “Tadi ada surat cinta yang jatuh dekat kandang ayam. Nggak tahu punya siapa. Mungkin sebentar lagi Titih akan berteriak memanggil nama penerima suratnya.”
Minem menoleh secepat kilat. Ia berlari panik meninggalkan Gita begitu saja.
Berbohong itu dosa.
Gita beristighfar dalaam hati, berharap Tuhan mau memaafkan kesalahannya kali ini.
Ustazah UKS yang bertugas di ruang kesehatan memeriksa Dinni. “Belum sarapan, ya? Kok, bisa sampai jatuh begini?”
“Cuma mengantuk, Ustazah,” jawab Dinni.
“Teman kami ini tiba-tiba menggelundung begitu saja di tangga. Saya sampai khawatir lho, Ustazah,” tambah Tina dengan cepat, “Jadi, saya bawa Dinni ke sini untuk diperiksa.”
“Wah?” Ustazah UKS terkejut ketika menarik bagian lengan seragam Dinni ke atas. “Kenapa sampai lebam dan memar begini?”
Meski memar merah di lengan Dinni mulai membiru dan beberapa yang lainnya memudar, bekasnya masih terlihat jelas.
“Saya jatuh terpeleset saat mencuci, Ustazah,” jawab Dinni tertekan.
Ustazah UKS memandang ke arah anak didiknya dengan serius.
“Mungkin karena terlalu capek beradaptasi ya, Ustazah?” tanya Tina penuh perhatian. “Teman kami ini banyak sekali melanggar aturan. Masalahnya, kami bagian keamanan juga tidak bisa seenaknya menghukum santriwati yang bersalah. Apalagi ia anak baru Kalau memang ada yang tidak beres, baiknya dikonsultasikan terlebih dulu dengan orang dewasa. Trias selalu berpesan begitu pada kami. Itu mengapa, melihat teman kami jatuh, saya langsung berinisiatif membawa ke UKS utuk diperiksa.”
“Oh, anak baru, ya?” Ustazah UKS melunakkan pandangannya. “Ada kesulitan selama tinggal di pondok?”
Dinni menggeleng. “Saya betah tinggal di sini, kok.”
“Jadi, benar memar ini karena jatuh?” tanya Ustazah UKS memastikan.
“Saya jatuh sendiri, Ustazah.” Dinni mengangguk. “Saya ngantuk. Capek banget. Baru mau tidur sudah dibangunkan untuk ibadah. Belum biasa."
"Dinni sering tidur sambil berdiri bersandar tembok saat antre kamar mandi." Tina mengikih menunjukkan keakraban mereka. "Banyak dari kami juga begitu, sih. Nggak apa-apa, kok, Din."
Dinni mengangguk. Ia memerhatikan lebam dan memar di lengannya dengan sedih. Suaranya semakin lirih. "Sebentar lagi juga sembuh sendiri, Ustaza—“
“Bohong itu dosa, lho.”
Dinni, Tina, dan juga Ustazah UKS menoleh. Gita tiba di ruang kesehatan dengan napas ngos-ngosan. Ia meringis ketika Dinni mendelik ke arahnya.
Bibir Tina yang dikatupkan rapat mencibir tanpa suara, ‘pengadu!’
Gita turut mengatupkan bibir rapat-rapat. Ia tidak sedang jadi pengadu. Gadis itu menantang tatapan galak Tina dengan berani.
Ustazah UKS merasakan ada sesuatu yang salah.
Dinni menghela napas berat. “Saya malu mau bilang ini, Ustazah. Sebenarnya saya jatuh karena terserimpet tali sepatu saya sendiri. Ini kebiasaan buruk saya sejak kecil. Ikatan tali sepatu saya gampang lepas begitu aja.”
Ustazah UKS memandangnya tajam.
“Kalau nggak percaya, Ustazah telepon Mami aja.” Dinni menunduk menghindari tatapan Ustazah.
Salah satu ujung bibir Tina ditarik culas.
Ustazah UKS memerhatikan satu demi satu anak didiknya. Mereka bertiga tetap bergeming, bertahan dengan alasannya masing-masing.
"Oh. Baiklah." Ustazah menghela napas berat. "Kayaknya ini masalah sepele remaja putri seperti biasanya."
Pandangan Gita langsung kecewa.
"Saya cek lagi, ya?"
Dinni mengangguk.
Ustazah UKS memastikan lagi tak ada yang terkilir baik di pergelangan tangan maupun kaki Dinni.
“Balurkan pada bagian yang memar. Bila masih sisa, atau mungkin kurang bisa kembali lagi ke sini.”
Dinni menerima salep pereda nyeri otot. “Baik, Ustazah. Terima kasih."