Pondok pesantren Bendung Kahyangan gempar. Seorang santri putri mencoba melarikan diri. Para Ustaz diturunkan untuk menjemput ketika gadis itu tertatih-tatih mendorong motor pulang sambil menangis hebat. Sekujur tubuhnya basah kuyup.
Pak Kiai dan para Ustaz berseru menyebut asma Allah. Semua bersyukur gadis itu selamat dan tak terjadi hal yang buruk padanya.
Motor segera diambil alih Gus Syamil. Tubuh kurus Dinni yang gemetaran roboh dalam pelukan Ning Safiya.
Para Ustazah yang khawatir hendak menggantikan membopong Dinni.
“Nggak apa-apa,” cegah Ning Safiya. Dengan sigap kakak perempuan Gus Syamil tersebut membawa gadis itu ke UKS.
Para Ustazah memerintahkan para santri putri yang mengintip ketakutan segera kembali ke kamar.
"Semua sudah terkendali! Ayo, kembali tidut! Istirahat! Istirahat!"
Para santriwati kembali masuk kamar sambil berkasak-kusuk.
Gita tergeragap bangun. Keributan sudah mereda ketika ia berlari keluar.
“Ada apa? Kenapa?” tanyanya khawatir.
Minem yang berpapasan di koridor mengabaikan kekhawatiran Gita. Santriwati lain masih dengan berbisik-bisik berduyun-duyun masuk kamar. Anggota keamanan tak tampak sebatang hidung pun.
Gita berlari menuju UKS begitu melihat sekelebatan sosok Ning Safiyah masuk dengan membopong temannya.
“Ini salah saya, Ning,” serbu Gita sambil menangis. Ia mencoba menyadarkan temannya. Tubuh gadis itu digoncang-goncang keras. “Din? Dinni...!?”
Ustazah UKS menarik Gita yang panik untuk duduk. Dinni sedang syok, baiknya tak ditambahi dengan kekhawatiran yang berlebihan.
Ning Safiya menyodorkan segelas teh panas yang diterima oleh Gita lalu diletakkan kembali ke atas meja.
Dinni tergolek lemas di atas tempat tidur. Bergo instannya berantakan. Wajahnya pucat. Bibirnya bergetar kedinginan.
Salah satu Ustazah muncul dengan membawa pakaian kering lagi bersih untuk ganti. Ustazah UKS membawa masuk sebaskom air hangat dan waslap untuk menyeka.
Kelambu pembatas kamar ditarik hingga menutup rapat.
Samar terdengar gumam heran Ustazah UKS. “Lebam dan memar seluruhnya sudah hilang?”
“Diminum dulu,” tegur Ning Safiya mengingatkan.
Gita menggeleng. Telapak tangannya basah oleh keringat. Tatapannya terus terpaku ke tempat tidur tempat temannya dirawat.
Kelambu pembatas kamar kembali dibuka.
Dinni terbaring dalam keadaan lebih bersih. Meski rona mukanya belum kembali, wajahnya yang kotor dan pucat telah diseka dengan waslap yang dibasahi air hangat.
Ustazah UKS membantu meminumkan teh hangat untuk Dinni. Gadis itu memalingkan muka, tak ingin minum.
“Apa yang sedang terjadi?” tanya Ustazah UKS.
“Mbak Dinni mencoba kabur dari pondok. Kecelakaan di hutan, lalu kembali dengan menuntun motor sambil menangis ketakutan,” jelas Ning Safiya.
Gita menunduk menghindari tatapan Ustazah UKS. “Maafkan saya karena tidur terlalu lelap, Ustazah. Saya tidak mendengar teman sekamar saya keluar.”
Tubuh remaja itu turut gemetaran. Air matanya mengambang keluar.
"Tidak ada yang menyalahkan anti, Nduk Sayang "
Ning Safiya memaksa Gita menghabiskan teh hangatnya.
Gita menenguk minumannya hingga tandas. Perlahan, perasaannya membaik. Gemetarannya mereda. Ia menyeka air mata yang membasahi wajah.
“Apa sedang ada masalah?” tanya Ning Safiya dengan lembut.
Gita tergugu. Perasaannya campur aduk. Ia ingin mengutarakan semua yang telah dialami Dinni. Tapi, pertengkaran mereka kembali melintas.
Dinni melarang Gita ikut campur.
“Pergi aja, ketimbang kamu ikut celaka!"
Gita menunduk menggigit bibirnya. Kalau ia cerita sekarang jatuhnya melapor, kan, bukan mengadu?
“Mau kamu mengadu, mau kamu melapor, yang dihukum tambah berat tetap aku!”
Ning Safiya menunggu tapi gadis di hadapannya malah semakin erat menutup mulut.
Ustazah UKS meminta Gita segera kembali beristirahat. Tak ada faedahnya menahan sang ketua kamar lebih lama di ruang kesehatan.
"Baiklah." Ning Safiya mengangguk mengerti. “Afwan. Memang sebaiknya anti kembali ke kamar sekarang. Segeralah beristirahat.”
Gita pamit pada temannya yang terpejam pucat di atas tempat tidur. Berat langkah gadis itu saat kembali ke kamar.
Keesokan hari di sela jam istirahat sekolah Gita menengok Dinni. Kondisinya mulai pulih. Wajahnya masih pias tapi gadis itu sudah membuka mata.
Hidung Gita mengendus-endus ruangan UKS. Aromanya lembab seperti bekas bocor hujan yang tidak dibersihkan.
“Anti mencium juga?” ganya Ustazah UKS sambil memandangi plafon ruangan UKS.
Tak nampak ada noda cokelat bekas rembesan air. Plafon ruang kesehatan putih bersih.
“Dinni bisa keluar kapan, Ustazah?”
Ustazah UKS berhenti mencari aroma bekas lembab yang berjamur.
“Bila keadaannya membaik nanti sore bisa kembali ke kamar,” jawab Ustazah UKS. “Bila besok masih lemas, boleh tidak masuk sekolah. Nanti saya buatkan surat izinnya.”
“Masih lemas, nggak?” tanya Gita.
Dinni menggeleng lemah. Tatapan matanya sayu.