Pembalasan Setimpal

Desi Puspitasari
Chapter #11

TEROR PERTAMA

“Orang-orang lagi tirakat pesugihan apa, sih? Kok, pakai putih-putih kayak pocong.”

Gita menggeret temannya menjauhi kerumunan santriwati yang berduyun-duyun pulang dari masjid. Kening Dinni yang ditempeli punggung tangan terasa dingin.

“Kamu lagi nggak demam. Kenapa ngomong melantur?” bisik Gita khawatir.

Tak terdengar jawaban apapun. Tatapan Dinni terpaku ke arah santriwati yang baru pulang salat jamaah.

Gita memeriksa temannya sekali lagi. Wajahnya memang Dinni, tapi guratnya asing.

Sejauh ini tak ada yang aneh dari Dinni kecuali ia menjadi lebih pendiam.

Bahkan, ketika Maya menjerit karena melihat pocong, Gita lebih percaya kalau Maya sedang melindur karena kecapekan.

Semalam, lengking ketakutan Maya hampir menggemparkan pondok.

Maya terus menjerit-jerit sambil merangkak mundur menjauhi tempat tidur Dinni. Sorot matanya penuh kengerian.

Minem melompat dari kasur. Lampu dinyalakan. Ruangan kamar seketika terang benderang.

Teman-teman yang lain terbangun panik mendengar Maya terus menjerit-jerit minta tolong.

Pintu kamar digedor keras.

Ustazah Aalifa, Ning Safiya, dan Ustazah UKS menerobos masuk. Anggota keamanan pondok terbirit-birit menyusul di belakang.

“Ada apa? Kenapa?” tanya Ustazah Aalifa.

“It... itu....” Telunjuk Maya menuding gemetaran. Ia mengisak sambil terus mengesot mundur.

Dinni menengadah. Wajahnya pucat dan letih. Bergo instannya mencong. Rambutnya mencuat keluar berantakan.

“Kamu melihat apa!?” tegur Trias gusar.

Gita melirik tidak suka. Ketua keamanan tidak usah sok paling khawatir, deh!

Yayuk memapah Maya duduk dan menyodorkan segelas air putih.

Ustazah UKS keluar menenangkan penghuni kamar lain yang mengintip penasaran di pintu masuk.

“Kembali ke ruangan! Ayo, sekarang!” perintahnya tegas.

Napas Maya mulai teratur meski sorot matanya masih takut. Ia terperangah menyadari wujud Dinni yang duduk ringkih di tempat tidur, seolah tanpa daya.

“Tad... tadi....” Suara Maya parau. “Tadi aku melihat –“

Bibir Maya yang gemetaran berkomat-kamit tanpa suara.

“Melihat hantu?” tanya Yayuk.

 Maya mengangguk.

“Hantu apa?

“Yang pakai kain kafan putih –“ Suara gadis itu seperti tercekik. "Bagian kepalanya diikat. Jalannya melompat-lompat. Tap... tapi... tadi ia masih terbaring –"

Gadis itu tak mampu menyelesaikan kalimatnya.

Penghuni kamar saling berpandangan. Anggota keamanan pondok turut bertukar pandang.

Tita dan Tika mundur selangkah. Tengkuk mereka merinding. Udara di dalam sini membuat tidak nyaman.

Ning Safiya memeriksa kondisi Dinni. Tubuh gadis itu sangat dingin. Pipinya ditepuk-tepuk.

Kedua mata Dinni mengerjap perlahan.

Ning Safiya kembali merapikan kerudung Dinni.

“Kamu belum sehat betul. Sebaiknya segera kembali beristirahat.”

Gita membantu memasangkan jaket. Dinni kembali berbaring. Tubuh kurusnya kini lebih hangat dengan jaket dan selimut tebal.

“Sebaiknya semua kembali tidur!” perintah Usatzah Aalifa tegas.

“Tap... tapi..., Ustazah....” Maya mendongak dengan pias. Ia berusaha keras untuk tak menengok ke arah Dinni.

“Kalian terlalu banyak berbagi cerita hantu. Sampai terbawa mimpi hingga melindur,” tegur Ustazah Aalifah. “Waktu yang ada sebaiknya digunakan untuk mengaji atau membaca sirah Nabi.”

Penghuni kamar menurut, membaca surat tiga qul lalu kembali menelusup ke dalam selimut.

Gita memastikan pintu kamar tertutup rapat lalu mematikan lampu.

"Dinyalakan saja," pinta Maya lirih dari balik selimut.

Teman-teman sekamar yang lain tak keberatan.

Ruangan kamar kembali terang benderang. Beberapa dari mereka kesulitan tidur bila ruangan tidak gelap, tapi lebih baik begini ketimbang berikutnya mereka yang melihat 'penampakan'.

Para Ustazah dan Ning memutuskan untuk tak melanjutkan sidang. Malam terlalu larut. Bagaimana pun juga, anak-anak ini butuh istirahat.

Trias tak mengatakan apa-apa. Seluruh anggota keamanan pondok pamit tersaruk-saruk kembali ke kamar.

Kejadian semalam menjadi bahasan heboh keesokan pagi.

Setiap kali Dinni melintas, para santri putri berbisik-bisik. Penasaran dengan sosok pocong yang menampaki Maya.

“Paling melindur, kayak kata Ustazah,” tanggap sekelompok santri putri usai salat dhuha.

“Menurut kalian apa ada yang tejadi sama Dinni saat dia kabur keluar pondok? Sekembalinya, dia jadi agak aneh nggak, sih?”

“Mungkin jiwanya dimakan danyang penunggu hutan,” gurau seorang santriwati yang lain.

“Mungkin dia syok ketemu Mbak Ida si orang gila “ timpal santriwati yang lain lagi sambil mengikik. “Perempuan itu kan sering keluyuran bahkan saat tengah malam. Dengar-dengar dari warga, Mbak Ida sering menangkap luwak atau hewan liar untuk dimakan mentah-mentah.”

Sementara itu, sekelompok santri putri yang lain sepakat dengan penjelasan bahwa Maya hanya melindur karena terlalu banyak mendengar cerita horor.

“Anak baru itu dihukum terlalu keras. Sampai nekat kabur dan jatuh sakit. Tahun ajaran ini anggota keamanan pondoknya lebay!”

“Menurutmu Maya beneran melindur?”

Santriwari yang tidak percaya cerita tentang demit-demit mengangguk.

“Pasti lagi kecapekan. Jadi, ngebayangin yang enggak-enggak.”

Pagi ini, Gita mengira kondisi temannya sudah kembali membaik ketika tiba-tiba celetukan sembrononya terlontar.

“Yuk, sarapan! Perutku sudah lapar!” Gita menggeret temannya.

Dinni hanya menghabiskan sedikit sekali makanannya.

Sepanjang hari tak ada tingkah Dinni yang mengkhawatirkan. Hanya saja, gadis itu kerap nenghilang saat waktunya salat berjamaah dan mengkaji kitab.

Gita berlari mencari di setiap sudut pondok. Ia bahkan mencari di setiap pos penjagaan keamanan. Sedikit pun Dinni tak nampak batang hidungnya.

Lihat selengkapnya