Titih tergeragap bangun. Telinganya mendengar teriakan minta tolong di kejauhan.
Gadis itu memeriksa sekitarnya. Ia masih berada di ruangan kamar Sakinah 2.
Titih mengucek-ucek mata. Ternyata hanya mimpi.
"Ngapain juga sampai terbawa mimpi!" Titih mengecam kelemahan dirinya sendiri sambil menepuk jidat.
Semenjak peristiwa Tita dikubur dan Minem yang ditemukan meringkuk ketakuran di atas angkong saat rengah malam, seluruh penghuni pondok tak ada lagi yang bisa tidur lelap.
"Aku ngantuuk...! Aku mau tidur nyenyaakk...!" Titih mengeluh sambil terus merutuk di dalam hati.
Seharusnya ia tak terpilih menjadi anggota keamanan pondok. Seharusnya ia tak mendengarkan perkataan busuk Trias. Seharusnya ia menolak dengan tegas saat diajak merundung santri yang dibenci sang ketua. Seandainya ia punya sedikit keberanian untuk melawan, tentu hidupnya sekarang akan lebih tenang.
Hingga saat ini, Trias tetap yakin pelaku kejahatan yang menimpa teman-teman mereka adalah Dinni.
Hanya santri baru itu yang memiliki kemungkinan besar menyimpan dendam kesumat pada seluruh anggota keamanan pondok.
Dinni kabur saat dirisak tengah malam, kembali dengan terseok-seok mendorong motor curian, lalu peristiwa-peristiwa menakutkan yang tak masuk akal itu terjadi.
Semalam, Minem ditemukan meringkuk sambil terus melolong ketakutan di atas angkong. Wajahnya basah oleh air mata. Kedua tangannya seolah menancap pinggiran angkong. Begitu lekat. Buku-buku jarinya hingga memutih saking eratnya ia mencengkeram.
“Ada apa? Ada apa ini sebenarnya? Kenapa!?” Pak Kiai mulai berang.
Para Ustaz dan Ustazah turun tangan bahu-membahu mengatasi masalah dengan sigap.
Saat diguncang bahunya, Minem menangis tergagap-gagap.
“Ampun...,” isaknya parau. “Ampuun.... Jangan lir-ilir. Nggak mau lir-ilir... nggak mau dengar lir-ilir. Takut dengar lir-ilir....”
Ustazah Riyadoh sekuat tenaga membebaskan kedua tangan Minem hingga akhirnya lepas.
Gadis berkulit hitam legam itu gemetaran hebat. Setelah dililit selimut, ketakutan itu tak sedikit pun mereda.
Pengurus panti mengadakan rapat genting dadakan.
Para santri putri diminta segera kembali ke kamar dan menjalani aktifitas sehari-hari seperti biasa.
"Mana bisa? Keadaan mencekam begini," bisik mereka dicengkeram rasa ngeri yang begitu besar.
“Mulai sekarang dilarang pergi sendirian!” perintah Ning Safiya tegas. “Cari teman untuk pergi berpasangan. Beramai-ramai akan jauh lebih baik!”
Minem yang membeku karena ketakutan dipapah menuju ruang UKS. Angkong cinta itu kini diam teronggok di tengah kegelapan.
Titih beringsut mundur. Teman-teman anggota keamanan pondok yang lain diam-diam mengeluh ketakutan.
Trias mengeraskan rahang.
Bukan perbuatan Dinni, batin Titih menolak kecurigaan Trias. Minem yang bukan anggota keamanan pondok juga diserang.
Kami aman –aku aman.
“Salat, nggak?” tanya Tina sambil terus menengok ke segala arah dengan takut. “Bareng, yuk? Kita bergantian wudunya. Aku takut kalau tiba-tiba disergap dari belakang terus –“
Titih menggeleng. “Aku lagi dapet. Aku lagi nggak salat.”
Kedua mata Tina membulat cemas. “Hati-hati, ya.”
Titih mengangguk. “Kayak aku bakal ketemu hantu Mursinem aja,” selorohnya mencoba mengendurkan suasana. Tawanya melengking canggung.
“Hantu yang menyesap darah mens di pembalut bekas santri putri?” Tina semakin khawatir. “Nggak boleh ngomong sembarangan gitu, ah. Nanti kejadian beneran, lho! Dah, ya. Aku mau sama Tika aja.”
“Eh? Hei! Kok, malah pergi? Kudunya aku, kan, ditemenin!” panggil Titih sia-sia.
Tina sudah pergi menggandeng Tika.
Titih mengembuskan napas kesal.
Matahari pagi mulai terbit di sebelah timur. Kabut putih yang melingkupi pondok perlahan naik. Ayam peliharaan di kandang berkokok bersahut-sahutan.
Sungguh pemandangan yang indah dengan suasana yang damai, bila saja tak ada peristiwa mengerikan yang terjadi secara beruntun.
Saat terpaksa berjalan sendirian di koridor kelas atau kamar, Titih selalu siaga. Matanya awas mengamati setiap gerak-gerik yang sekiranya mencurigakan.
Sejauh ini aman.
“Nggak ada yang perlu ditakutin,” katanya mantap. “Lagian, kalau petugas keamanan pondok takut, terus gimana nasib santri-santri yang harus dilindungi? Kocar-kacir, dong!”
Tapi, kenyataan tak bisa berbohong. Keberanian gadis itu goyah saat malam tiba.
Tidurnya gelisah. Barusan, ia terbangun karena mendengar teriakan minta tolong, yang ternyata cuma mimpi.
“Aduh...,” keluhnya kesal. Selimutnya disingkap. “Keadaan lagi horor begini malah kebelet pipis!”
Titih membangunkan teman-temannya.
“Ustazah berpesan kita nggak boleh pergi sendirian,” rengek Titih yang mulai menciut nyalinya. “Temenin aku ke kamar mandi, dong.”
“Duh, ngantuk!” tolak temannya sambil menarik selimut lebih rapat.
“Barusan tadi aku ke kamar mandi samya Tyriand wauweyi...,” teman yang lain juga menolak sampai bicara melantur saking mengantuknya.
Tak ada yang mau menemani Titih ke kamar mandi.
“Lagian kamu, kan, pasukan keamanan pondok. Masa takut?” ledek teman yang lain dari balik selimut.
"Pih!" decak Titih kesal.
Cklek.
Gadis itu memberanikan diri ke kamar mandi sendiri demi harga diri. Tak sudi hatinya diledek penakut seperti barusan.
"Uff...!" Titih mengeryitkan ujung hidung. Tangannya mengibas-ngibas udara yang dihirupnya.
Begitu pintu kamar dibuka, aroma busuk bangkai tercium begitu kuat.
Sedari kemarin Bapak Tukang Kebun sudah mencari asal muasal aroma tak sedap tapi tak juga menemukan penyebabnya.
“Jangan-jangan ada mayat korban mutilasi dibuang dekat pondok,” celetuk salah seorang santriwati.
Titih bergidik. Menyesal ia mengingat-ingat celotehan santri itu tentang korban mayat mutilasi.
Gadis itu mempercepat langkah. Tak nampak seorang pun di koridor.
Kamar mandi pondok Sakinah terletak di paling ujung. Sedikit terpisah dengan gedung kamar tidurnya.
“Gedung salah konsep,” cela Titih tidak suka. “Aku jadi menderita begini gara-gara kebelet pipis.”
Bila tak ada cerita hantu, berjalan agak jauh begini tak menjadi masalah bagi Titih.
Sliwer –