Pembalasan Setimpal

Desi Puspitasari
Chapter #14

MENGAKU BERSALAH

Trias terjaga pada lengking nyaring pertama Titih. Seharusnya ia tak jatuh tertidur, tapi malam ini matanya begitu berat.

Lolong ketakutan itu terdengar kembali.

Ia harus segera menolong temannya.

Trias melompat turun dari kasur –

BYURRR!

Gadis itu jatuh mencebur blumbang. Kagetnya belum pulih ketika kakinya terpeleset dasar kolam yang licin dan berlumpur.

Napas Trias megap-megap. Ia tak jago berenang tapi seharusnya takkan tenggelam bila hanya mencebur kolam ikan.

Air kolam menjadi keruh. Lumpur di dasar kolam mubal kena tendang dan kecipak tangan ketua keamanan pondok.

Tangan Trias berhasil menapak ke tepian kolam. Gadis itu menarik napas panjang lalu terbatuk-batuk. Air kolam keruh yang tak sengaja tertelan muncrat keluar.

Trias mencoba merambat naik. Pijakan kakinya tak kokoh. Batang pohon yang bisa digunakan sebagai pegangan terlalu jauh untuk diraih.

Lumpur di dasar kolam terus mubal. Kolam sedang dikosongkan. Dua hari yang lalu ikan nila peliharaan sudah dipanen, dijadikan lauk makan santri putri di pondok.

Gadis itu mengusap kering wajahnya yang berair. Ia mengedarkan pandang.

Trias tak lagi berada di kamarnya. Melainkan kebun belakang yang berisi petak-petak kolam ikan milik pondok.

Terakhir yang ia ingat, gadis itu berusaha terjaga sepanjang malam dengan duduk bersandar di tembok tempat tidur.

Perasaannya mengatakan, ia telah diincar Dinni. Entah malam ini atau esok hari.

Di tengah penjagaannya yang sangat siaga, sang ketua keamanan jatuh tertidur. Ia terperanjat bangun ketika mendengar lengking nyaring salah seorang anggotanya, Titih.

Tanpa pikir panjang, Trias melompat turun dan segera menyelamatkan temannya.

Di sinilah ia sekarang. Berhasil naik menyelamatkan diri dari ceburan blumbang. Basah kuyup, kotor, dan kedinginan.

Akal sehat Trias mengatakan, Dinni melakukan pembalasan setimpal padanya usai membalas kejahatan Titih terlebih dulu.

Sliwer

Bayangan hitam berkelebat melintas di belakangnya.

Trias berkelit menghindar. Pisau lipatnya terayun ke udara – menebas leher sosok hitam yang kembali berkelebat melintas di belakangnya.

Terdengar suara krek meyakitkan.

Kepala Dinni jatuh menggelinding lalu terhenti saat menumbuk lutut Trias.

Tubuh ringkih Dinni yang tanpa kepala roboh.

Trias terhuyung berdiri. Gadis itu mundur selangkah.

Seharusnya tebasan itu tak sampai membikin putus leher lawan. Pisau lipat miliknya hanya akan melukai leher tanpa membuatnya sampai copot dari tempatnya.

Kaki Trias yang telanjang -sandal jepitnya hanyut di dalam blumbang- menahan kepala Dinni. Ia tak percaya hantu. Sama tak percayanya dengan larangan sembrono tidak boleh menyimpan senjata tajam selama tinggal di pondok.

Remaja putri itu pernah bergabung dalam geng klitih² dan seorang anak gentho dugdeng. Bersiap untuk hal yang paling buruk menjadi sebuah keharusan.

Trias memandang dingin kepala berkerudung yang terjepit di bawah kakinya. Jelas ini manusia jadi-jadian. Kalau manusia sungguhan, saat lehernya ditebas pasti akan menjerit kesakitan.

Pih!” Trias meludah. “Memedi lemah! Cuma segini aja kemampuanmu!?”

CBURR!

Kepala Dinni ditendang masuk kolam. Juga tubuh buntungnya yang tanpa kepala.

Trias menyimpan kembali pisau lipatnya. Manusia jadi-jadian itu besok pagi akan ditemukan tenggelam di dasar kolam. Atau, mungkin malah sudah menghilang.

Trias mencibir sekali lagi.

Bagaimana pun, derajat manusia tetap lebih tinggi ketimbang demit tidak bermutu yang sedang berusaha menakut-nakutinya.

Trias menoleh. Suara detap langkah santri putri yang berlari panik mencuri perhatian.

Gita dan Maya terengah menuju kantor. Mereka berhenti sebentar untuk mengatur napas yang tersengal.

Malam telah begitu larut. Lampu kantor pondok bahkan telah dimatikan. Tak ada yang berjaga. Tapi, dua remaja itu bertekad akan menggedor kediaman Ning. Bila perlu kediaman Pak Kiai dan Bu Nyai.

“Ayo!” Lambaian tangan Gita memberi tanda supaya mereka kembali bergegas.

Mereka kembali berlari menuju kantor.

“Titih!” desis Trias cemas. Ia teringat seharusnya sudah menyelamatkan temannya.

Tluk!

Seekor belatung jatuh menjentik di bahu Trias.

Tluk – tluk – tluk!

Belatung-belatung yang lain menjentik ke tumit dan betis gadis itu.

Trias menepis hewan menjijikkan itu dengan wajah pucat.

Sosok Dinni yang mengapung perlahan tenggelam. Kerudung dan pakaiannya mengambang di permukaan air kolam sebelum kemudian melayang turun.

Trias hendak bergegas menuju gedung Sakinah ketika betisnya ditarik masuk blumbang.

SRETTT –

BYUURRR!!

Tenaga yang menariknya kuat sekali.

Lihat selengkapnya