Lengking tangis Trias satu-satunya suara yang terdengar di tengah keheningan larut malam.
“Maafin aku... maafin akuuu...” Sekujur tubuhnya gemetar oleh rasa bersalah yang begitu besar.
“Setiap manusia tentu tak lepas dari dosa; dengki, iri hati, kurangnya kendali emosi, perasaan cinta yang membara, gejolak memberontak khas remaja, dan banyak lainnya. Makanya, kita diingatkan untuk selalu memohon ampunan dari Tuhan. Juga belajar memaafkan.”
Pak Kiai mengusap wajah sembari beristighfar di dalam hati.
“Membalas dendam tak pernah ada gunanya. Belajarlah memaafkan; memaafkan diri sendiri, memaafkan orang lain. Berat pastinya, tapi bila mampu akan membuat hidup nenjadi lebih ringan dan berkah.”
Trias terus mengisak. Anggota keamanan pondok yang lain beringsut mundur. Meringkuk di kegelapan, menangis tersedu-sedu. Bahu mereka direngkuh teman yang lain, membantu menenangkan.
Mulut Pak Kiai berkomat-kamit membaca doa.
Bahu Dinni ditekan kuat. Sosok asing itu tak kuasa memberontak.
Pak Kiai membaca doa keras sekali lagi. Telapak tangannya menempel di jidat Dinni.
Gus Syamil kembali membakar selembar kertas. Apinya berkelebat, membakar hangus dalam sekejap.
Seiring gerakan Pak Kiai menarik keluar perihal yang tak kasat mata, bayangan hitam beraroma bangkai busuk melesat ke atas. Lenyap ditelan kabut tebal.
Tubuh Dinni roboh.
Para santri putri yang menenali sosok itu memekik kaget.
“Mbak Idaa...?!”
Serempak semua mata tertuju pada sosok tubuh kurus perempuan dewasa itu.
Perempuan yang jiwa dan pikirannya terguncang karena perkara cinta yang menyakitkan
Perempuan kurang waras yang kerap keluyuran di sepanjang jalan desa. Mulutnya selalu menggumamkan Lir-ilir, tembang berbahasa Jawa yang mengajak manusia untuk selalu bersemangat dalam beribadah di dunia. Amal sebanyak-banyaknya di dunia ini kelak menjadi bekal ketika manusia menghadap Yang Maha Kuasa.
Pak Sopir, asisten Gus Syamil, tergopoh-gopoh memberi kabar bahwa mobil sudah siap untuk membawa Trias ke rumah sakit. Seharusnya hari ini Pak Sopir libur, tapi Gus Syamil menghubungi beliau untuk minta tolong.
Tangis Trias terus mengguguk. Malam itu dunianya terasa seperti telah berakhir untuk selamanya.
Gadis itu telah mendapatkan balasan setimpal atas kejahatan yang dilakukannya; tubuhnya terluka, aibnya terbuka, dan kini duduk di mobil diantar Ning menuju rumah sakit.
Gus Syamil duduk di depan, di sebelah Pak Sopir.