Insecure terbesarku adalah saat tahu aku gadis terakhir yang di dekati setelah mereka di tolak oleh teman-temanku.
Aku menatap kelopak bunga yang jatuh berirama mengikuti alunan angin, harusnya momen tersebut menjadikan hari yang paling kuingat dalam sejarah masa percintaanku tapi anehnya dunia berkata sebaliknya, mungkin waktu itu bukan diciptakan untukku melainkan untuk orang lain. Dengan nanar aku menatap ponselku yang berwarna pink : mirip bunga yang jatuh di atas layar benda pipihku. Disana tertulis 'Save dari Aji'.
Kalau memang seandainya ada dunia milikku sendiri aku ingin menjadikan tokoh utamanya adalah aku, sehingga aku bisa membuat diriku bahagia dengan cara yang tidak terduga seperti sekarang ini. Namun, aku hanya manusia yang ikut serta dalam permainan dunia.
"Aya!" Nampak seorang lelaki bertubuh tinggi dengan wajah datar menyerukan namaku, dia berdiri tidak jauh dari tempat pijakanku. Terlihat ada raut kesal mungkin sudah lama menunggu di halte_tempat kami berangkat ke sekolah bersama, yang terpikirkan olehku harusnya dia senang, toh_ dia di kelilingi banyak gadis cantik, untuk apa dia ikut serta menunggu orang seperti aku yang tidak ada bagus-bagusnya ini.
Langkahku ku percepat bersamaan dengan bus yang tiba, ujung-ujungnya Mada lebih dulu masuk bersama circle barunya.
Aku sengaja duduk di samping jendela untuk menghilangkan rasa gerah yang menghampiri, aku mulai memikirkan kejadian yang membuat Mada menjadi seperti sekarang. Sampai rasanya ingin saja aku menghilang dari dunia. Dalam hati aku terus merutuki diri, kenapa harus mengikuti camping minggu itu. Kalau bukan Lisa yang mengajak pasti aku tidak akan ikut. Kalau saja Lisa tidak mengajak aku pasti tidak akan di chat oleh Aji. Kalau Lisa tidak mengajak aku tidak perlu merasa jelek sebagai perempuan. Rasanya aku seperti badut di mana pun aku berada. Yah memang, terkadang kamu harus terlibat dalam satu hal untuk menyenangkan orang lain.
Bus mengerem mendadak membuat penumpang mengeluarkan keluh kesahnya, aku ikut turun saat melihat sekolahku berada tak jauh dari halte. Selang dari itu aku bangkit dan terdiam sesaat menoleh ke arah Mada yang sibuk membalas lelucon gadis-gadis itu, Tak menunggu dia, aku lebih dulu berjalan keluar dan berlari sebelum pintu gerbang di tutup.
***
Hari-hariku biasa saja, aku sebagai murid pelengkap dan tidak terkenal, tidak punya bakat yang dapat di lirik orang-orang, motto hidupku hanyalah untuk terus bertahan sampai kiamat tiba. Aku tidak tahu sejak kapan aku tidak peduli pada diriku sendiri, sejak kapan aku mengubah diriku menjadi orang yang tidak berperasaan, semua itu bermula sebelum aku pindah di kota besar_tempat ayahku tinggal. Suasana yang berbeda membuatku tak bisa membedakan mana yang benar-benar peduli padaku dan hanya pura-pura. Aku juga belum pernah mendapatkan senyum smirk atau senyum meremehkan dari tempat ku tinggali sebelumnya. Dari sana aku belajar banyak hal, aku harus tahu bahwa sebenarnya ada sesuatu hal yang harus ku gali lagi.
Hingga aku bertemu dengan Mada, satu-satunya orang yang kuanggap Kompas dalam hidupku. Ayahku meminta laki-laki itu untuk menjadi temanku dan memberitahukan apa yang tidak ku ketahui mengenai lingkungan dan sekolah baruku. Meski Awalnya aku tidak yakin tapi melihat Mada yang membawaku pergi kemana saja membuatku sedikit legah, dan berpikir dia orang yang cuek tapi perhatian. Saat itu aku sadar kalau aku menyukainya, miris sekali.
Selama pelajaran aku tidak memperhatikan sampai bel istirahat berbunyi. Aku keluar dan mulai berbaur dengan teman-teman yang lain. Kami ber empat duduk dekat lapangan bola sambil mengemut lolipop pemberian Rena. Aku dan Lisa duduk di bawah kursi sambil menyilangkan kaki, di sana masih ada rerumputan hijau hingga kami bisa duduk dengan tenang tanpa perlu kena cacingan. Sedangkan Rena dan Boni duduk di kursi dengan mulut setengah terbuka karena asik melihat cogan-cogan kelas sepuluh.
"Apa kita harus seperti ini?" Cicitku dan mulai kepanasan, matahari juga mendukung. Dia bersinar tepat di hadapanku.