Pemberhentian bus terakhir

Nicanser
Chapter #6

Bus penuh kepalsuan

Semua hal yang menimpaku begitu mengejutkan, aku refleks berdiri dan kabur meninggalkannya, aku berlari sekencang mungkin dan mengumpulkan semua informasi alasan aku bisa sampai berubah wujud.

Semua yang terlintas di otakku hanyalah kenangan bus yang mengantarku ke tempat yang berbeda, Setiap ke sekolah aku tidak pernah berubah, pulang pun bisa berubah dan tidak, apakah aku berubah saat aku tidak memiliki tujuan untuk pergi?

Namun mirisnya semakin aku pergi menjauh dari orang yang aku hindari, selalu saja dia muncul di hadapanku dengan wajah yang tidak bersalah. Apa dia tidak berpikir penyebab semua hal yang aku lakukan itu karenanya?

Dia saja tidak tahu dan hanya aku yang menyiksa diri untuk menjauhinya, Karena semakin di dekatnya aku semakin terluka dan berdarah.

Laju lariku memelan, saat dia baru saja keluar dari kafe tempat di mana aku meninggalkannya tanpa pamit.

"Ayo pulang," lirihnya terdengar tidak bertenaga.

Aku akhirnya mengangguk dan mulai beriringan berjalan dengannya, waktu yang terasa singkat di toko buku kini menjadi terasa lama hanya untuk berjalan bersama.

Sekarang aku tahu, penyebab aku membencinya, karena dia bisa membuat seseorang hanya sekali melihat bisa jatuh hati padanya.

Aku butuh pelarian agar rasa sukaku tidak besar, tapi bagaimana caranya?! Semuanya terasa seperti angin jika hanya di bayangkan, aku ingin sekali tidak merasakan suka dan sakit yang datang kemudian hari.

"Bukunya udah ada?" tanya Mada tiba-tiba.

Aku tersentak sambil mengangguk patah-patah. Aku berusaha keras untuk mencari obrolan agar kepalaku tidak harus di gunakan untuk mengangguk hingga jatuh pada tempat terakhir Mada keluar.

"Kakak tadi habis minum sendiri?"

Mada menoleh tempat kafe tadi, sambil tertunduk lesuh. "Tidak minum hanya menemani dia minum."

Dia? Dia siapa?!!

Entah kenapa hatiku gerah mendengarnya. Melihat wajahnya seperti itu membuatku yakin bahwa dia bertemu perempuan yang berstatus pacarnya dan mereka mengalami pertengkaran hebat hingga membuat dia sedih.

Aku jadi tidak mood membalasnya, aku cuman tersenyum tipis sambil terus berjalan. Entah rumahku tinggal di atas gunung atau kaki kami pendek seperti kurcaci rasanya lama sekali sampai, padahal aku ingin menumpahkan air mataku di bantal sekarang juga.

"Dia ibuku," tambah Mada.

Seketika aku menoleh, menatap Mada yang seperti tahu isi pikiranku. Dia lebih dulu berjalan meninggalkanku sambil memasukkan kedua tangannya di saku seperti orang keren yang nyatanya memang keren.

Lihat selengkapnya