Rasa insecureku kembali melambung tinggi saat berpisah dengan Mada di bus terakhir kali kami berpisah. Tidak ada lagi yang seganteng Mada, tidak lagi yang perhatian seperti Mada, tidak ada yang bisa menyukaiku apa adanya seperti Mada. Disukai laki-laki sekeren Mada adalah yang utama tapi tanpa status itu tidak berarti apa-apa bisa saja dia bertemu perempuan lain dan perasaannya hilang begitu saja.
Ayah menepuk pundakku untuk menyadarkan, aku beralih melihatnya dengan mimik wajah yang kuatur kembali.
"Ayah mau pergi kerja dulu, sekarang kau mau kemana?" Aku terdiam sejenak, aku saja tidak tahu harus melakukan apa setelah ini, aku juga izin absen karena Mada, hanya di sekolah lah tempat ku bisa bergembira bersama teman-teman.
"Aku mau ketemu teman yah, ayah diluan saja," bohongku agar dia tidak khawatir kalau meninggalkanku sendiri.
Ayah tersenyum tipis dan pergi. Aku memandangi punggung ayah yang perlahan menjauh dan menghilang di persimpangan jalan.
"Aya?" sapa seseorang membuatku menoleh, dia Aji, yang tidak pernah aku balas chatnya dan tanpa dosa bertemu di lapangan badminton seperti teman akrab.
"Oh hai!" Liat sekarang aku, antusias seperti ingin sekali bertemu dengannya betapa mengerikannya diriku.
"Ngapain disini? Ayo ke kafe depan lampu merah, daripada ngobrol di jalan ganggu orang lewat." Aku mengiyakan saja apa yang ia katakan, aku ingin menembus rasa bersalahku tentang kepribadianku ini.
Setelah sampai disana kami duduk di bagian lantai atas sambil melihat pemandangan, saat menoleh ke bawah aku teringat tempat duduk bersama Lisa hari itu.
"Kau tidak kesekolah karena sakit, kan? Aku baru saja ingin menjenguk mu," tuturnya sambil memberikan buah sebagai buah tangan. Reflek aku memegang kepalaku yang di perban. Padahal hanya luka kecil, tapi alasan yang kuat adalah itu, tidak mungkin aku mengatakan karena Mada.
"Tidak perlu repot-repot, tapi terimakasih."
"Hehe iya sama-sama, kalau boleh tau apa ponselmu rusak?"
Aku hanya bisa tersenyum canggung. Kenapa orang seperti dia jadi tidak tahu diri? Padahal aku sudah berniat untuk tidak melakukan hal kejam lagi.
"Engga kok, ada apa?"
"Kau tidak membalas pesanku." Suaranya jadi terdengar sedih.
"Tentu saja aku tidak balas, kakak kan sedang dekat sama teman-temanku kenapa masih menghubungiku?"
"Ah soal itu ya, apa mereka membicarakan itu padamu?"
Aku menggeleng tegas. "Aku hanya mendengar mereka bercerita."