Setelah menemui Jeno, aku mampir sebentar ke kafe Carlie. Aku menulis surat berisikan alamat yang harus dia datangi di hari minggu setelah menerima pesan dari Kijong. Setelah itu aku pulang untuk belajar karena besok aku harus berperang dengan otakku.
***
Enam hari aku lewati untuk fokus pada ujian semester. Aku memutuskan untuk tidak mengingat mengenai bus dan hubungan pertemanan kami, yang kupikirkan adalah bagaimana aku harus mendapatkan nilai tinggi dan segera lulus.
Tibalah hari Minggu, aku mempersiapkan diri untuk bertemu mereka di pemakaman ketiga gadis yang mereka cintai. Aku pergi tidak menggunakan bus, melainkan berjalan kaki karena jarak ke rumahku tidak lah terlalu jauh, selain itu aku takut akan berubah-ubah seperti bunglon saat bertemu mereka.
Laki-laki pertama yang kulihat adalah Kijong dia sudah berdiri di depan kaca abu sipemilik nama Kinan. Aku berdiri di sampingnya memperhatikan lukisannya yang terpajang disana.
"Maaf terlambat," ujarku membuatnya menoleh.
Wajahnya sedikit kebingungan hingga aku menghembuskan napas pelan karena tahu wajah asliku akhirnya kembali.
"Ananda?" Aku tersenyum mendengarnya sambil mengangguk pelan. Dia menutup mulutnya saking kagetnya. Dia mungkin sekarang tahu kalau ucapanku tidak bohong.
"Senang berkenalan denganmu," ujarnya sambil menjabat tangan.
"Aku harap kita bisa menjadi teman baik." Aku balik membalasnya.
***
Setelah bertemu dengan Kijong, aku menemui Jeno yang tidak jauh dari tempat Kijong. Disana dia sedang duduk menatap abu_orang yang dia sayangi.
Saat aku datang dia terlihat tidak peduli sampai aku memberikan dia buku yang bertuliskan 'Jangan Menangis' membuatnya tertarik untuk melihat sumbernya.
Dia menghapus sisa-sisa air matanya sambil tertawa pelan. "Makasi Yudia." Jeno bahkan tidak terkejut sama sekali dengan rupa asliku.
***