Usaha belajar mati-matianku tanpa teman dan ketiga laki-laki itu berjalan mulus. Aku mendapatkan rangking pertama dengan nilai yang sempurna sampai berhasil naik ke kelas tiga.
Sistim Kelas 3 di ubah sesuai peraturan kepala sekolah baru yaitu murid dengan nilai tertinggi dipisahkan dengan murid yang nilai rendah. Ketiga temanku mendapatkan kelas yang berbeda. Kami jadi terpisah-pisah, tidak ada yang mendapatkan kelas yang sama. Semua itu kumanfaatkan untuk belajar lagi, tidak ada lagi rasa overthingking yang selalu menghantuiku. Aku akhirnya bisa menerima diriku sendiri.
Tidak ada kata untuk meminta maaf dan di maafkan, semuanya berjalan dengan sendirinya. Rasa untuk menahan diri juga tidak bisa di paksakan, tiba saat pelulusan, kami di pertemukan kembali dengan versi yang berbeda. Kami yang dulu masih kekanak-kanakan berubah menjadi dewasa.
Kami di persatukan saat ada fotografer yang meminta kami untuk berfoto bersama karena di sekitar kami tidak ada lagi murid-murid yang sendirian, semuanya punya keluarga tidak dengan kami yang mendadak sama belum kedatangan wali. Kami dibariskan berempat dengan aku yang berada di tengah bersama Lisa sedangkan Boni dan Rena yang berada di sisi kiri dan kanan. Awalnya hanya senyum canggung dan gandeng kaku yang terlihat sampai fotografer menegur kami hingga menjadi senyuman lebar dan rangkulan yang nyaman. Moment itu aku abadikan lewat mataku dan selalu kukenang di pikiranku.
Acara pelulusan itu berakhir. Kami pulang terpisah dengan keluarga kami yang akhirnya datang juga meski terlambat. Aku naik motor bersama ayah sambil kupeluk erat lelaki tua itu agar dia tidak pergi jauh meski kenyataannya itu tidak akan terjadi. Dalam perjalanan aku memikirkan banyak hal dari awal sampai akhir aku tinggal di kota Seoul. Banyak pengalaman yang aku lewati mulai dari pertemanan yang penuh salah paham, bus misterius yang menghilangkan insecureku dan pelarianku dari Mada, semua itu mengundang tawa pelanku.