Pembohong

Khasbi Abdul Malik
Chapter #4

Perpustakaan #4

Suasana perpustakaan mulai sedikit ramai. Satu persatu berdatangan. Tidak jauh pengunjungnya para mahasiswa semester akhir. Atau para semester ‘dewa’, alias semester oversize. Tidak sadar, diskusi mereka bedua terdengar riuh di ruangan baca. Ibu petugas sejak tadi masih memperhatikan. Mungkin karena suasana semakin ramai, Ibu itu menghampiri.

“Nak, mungkin dikusinya bisa pindah ya. Pengunjung perpustakaan makin rame,” ramah petugas perpustakaan mengingatkan.

“Ok bu,” Veno anggukan kepala merasa bersalah. “Baik Ibu, terima kasih dan mohon maaf ya bu,” Kenya lebih ramah dan santai.

“Ven, ayok kalau mau lanjut bahas Walisongo di luar perpustakaan aja. Tapi bentar, aku ke resepsionis dulu buat minjem buku ini,” tunjuk Kenya ke buku-buku yang dia bawa sembari berjalan menuju meja resepsionis.

“Aku juga mau minjem buku,” Veno ikut antri setelah Kenya membawa buku ‘Intelektualisme Pesantren.’

Dari bilik kaca jendelan matahari di luar ruangan terasa hangat, waktu panas bedengkang[1] tiba. Hilir mudik angin sepoi-sepoi menebas pepohonan di sekitar kampus. Beberapa daun kering jatuh bergantian. Tak pandang bulu, entah itu daun dengan ukuran besar atau kecil. Ketika sudah waktunya berguguran, hembusan angin akan membantu daun-daun itu jatuh.

Veno dan Kenya melangkah keluar ruang perpustakaan. Buku-buku yang mereka cari sudah ditemukan. Tugas makin hari, makin menumpuk. Bukan malah berkurang. Tapi dua mahasiswa ini sangat menikmati tugas-tugas kampus karena rajin membaca, berdiskusi, dan menulis.

Mereka berdua turun dari lantai empat. Memilih jalur tangga. Sembari melanjutkan diskusi Veno berinisiatif memulai obrolan.

“Kalau begitu, Walisongo tentu sangat dikenal dengan simbol penyebaran Islam di Nusantara, bil khusus Jawa. Peran mereka dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga memiliki pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat secara luas. Hingga dakwah Walisongo secara langsung membuat nama ‘sembilan wali’ lebih dikenal atau banyak disebut-sebut jika dibandingkan dengan nama yang lain,” langkah Veno mengikuti irama Kenya. Lambat.

Tangga kampus tergolong sangat tinggi. Tidak cocok untuk para dosen sepuh. Dosen dalam kategori sangat senior, cukup mengajar di ruang-ruang dasar. Ya, walaupun harus di lantai-lantai atas harus dibantu dengan lif. Tak terasa, sudah berada di lantai dasar. Kenya antusias, diskusi tentang Walisongo sangat imbang. Veno tiba-tiba mengingat sesuatu.

“Kenya, mau kan kita ke Kantin dulu?” Veno coba melobi.

“Boleh, aku juga kan tadi menawarkan kita lanjut di luar Perpustakaan,” ajak Veno diterima. Jarang sekali Kenya mau diajak bersantai di Kantin. Tapi kali Veno beruntung.

Wajah Veno berbinar-binar. Rencana seperti ini sudah ia persiapkan jauh-jauh hari. Momen langka, waktu tak berjangka. Veno beranikan untuk menyampaikan niat baik untuk mencintai Kenya dan menikahinya. Tak ada cinta yang sempurna, bila tak disampaikan di meja paripurna. Kantin akan menjadi saksi bisu niat baik Veno.

Lihat selengkapnya