Pembohong Ulung

Rizal Syaiful Hidayat
Chapter #2

Tangisan yang penuh tanya

Umur 25 tahun dianggap sebagai usia yang pas untuk menikah bagi laki-laki pada umumnya, sedangkan wanita dianggap sudah pantas menikah di usia sekitar 22 tahun. Pertanyaan pun muncul, kenapa kedua batas umur bisa berbeda? perbedaan angka 3 tahun hanya dianggap hal wajar karena wanita dianggap sudah lebih matang secara fisik dan mental di umur tersebut, di sisi yang lain itu seperti menunjukan sebuah kebebasan yang sedikit terampas dari kehidupan seorang wanita secara tidak sadar, pandangan masyarakat terhadap wanita di umur tertentu akan berubah karena hal tersebut. 

Di Indonesia sendiri menikah adalah hal yang sangat wajib, berbeda dari negara barat atau negara-negara yang menganut sistem liberal di mana kebebasan adalah hal yang dijunjung tinggi.

Memang pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, oleh karena itu kita tidak mungkin untuk bisa hidup sendirian. Namun bagaimana jika seseorang ingin hidup sendiri karena tidak ingin menyakiti atau tersakiti oleh orang lain? pertanyaan yang mungkin tidak banyak muncul di setiap benak orang, tapi aku pernah bertemu seseorang yang bertanya itu kepadaku. Orang tersebut adalah orang yang paling aku benci dan mungkin tak akan bisa aku temui lagi, kecuali aku yang memintanya untuk bertemu denganya di kemudian hari.

Waktu itu aku adalah seorang wanita yang tak mengenal hubungan antar pria dan wanita secara nyata, namun jika seseorang bertanya tentang saran asmara mungkin aku bisa menjawabnya karena banyaknya sumber informasi yang kumiliki. Film, novel, drama atau pun sinetron adalah sumber yang sering aku gunakan untuk menjawab pertanyaan asmara. Namun cerita yang aku tonton tak seindah kenyataan yang aku alami. Aku adalah wanita di akhir umur 20 tahunan yang belum pernah memiliki pasangan sama sekali dan bahkan untuk sekadar pacaran atau bahkan cinta monyet juga belum pernah, orang-orang pun heran kenapa aku bisa belum laku dan bahkan orang tuaku juga sampai geleng-geleng kepala jika ditanya tetangga perihal calon mantu.

Orang tuaku sebenarnya juga sudah berusaha cukup keras untuk mencarikan jodoh untuku, mungkin mereka sudah mengatur sekitar tiga belas kali perjodohan untukku. Dari seorang Dokter hingga seorang koki pernah di jodohkan denganku, bahkan mungkin kalau bicara tentang jarak mungkin dari tetangga sampai yang paling jauh seperti di Sumatra sudah pernah coba dijodohkan denganku. Anehnya dari semua itu tak ada yang berhasil dan paling hanya sampai pertemuan kedua, maka sang pria pun akan mengundurkan dirinya sendiri dari perjodohan tersebut. Terkadang pun aku juga merasa lelah dengan semua itu, tapi aku tak bisa mengabaikan keinginan orang tua yang telah melahirkanku.

Sehari-hari aku hanyalah seorang pekerja di salah satu perusahan telekomunikasi nasional pada bagian call center. Sebab itu berbicara kepada orang adalah salah satu keahlianku, terkadang jika ada acara resmi di desa maka aku juga di suruh untuk menjadi MC dadakan. “Sekarang waktunya kedua mempelai untuk berfoto dengan anggota keluarganya dan teman-temannya, mohon untuk segera menempatkan diri!” aku juga mencari uang tambahan dengan menjadi pembawa acara di acara pernikahan, mungkin pada awalnya aku melakukan itu sebagai penghibur diri dan observasi. Melihat orang-orang berpasangan di acara pernikahan terkadang membuatku agak kesal dan sekaligus terhibur.

Hari itu adalah tanggal 25 April di mana aku membawakan acara pernikahan keluarga temanku di area perkotaan Solo, di sana aku melihat seseorang yang menarik perhatianku. Seorang pria duduk di meja bagian tengah menatap tepat ke tengah panggung. Ia terlihat tak membawa pasangan dan ia hanya di temani oleh satu buah piring yang berisi makanan kecil serta satu gelas yang terisi air sirup yang tinggal setengah.

Lihat selengkapnya