Pembohong Ulung

Rizal Syaiful Hidayat
Chapter #3

Angka dua dalam angka satu

Ketika kita sendiri mungkin kita bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang yang punya pasangan, tapi tentunya orang punya pasangan juga punya sesuatu yang bisa mereka lakukan bersama pasangan dan sedangkan orang yang tak punya pasangan tak mungkin melakukannya. Jadi manusia itu memang selalu mencari celah apa yang tak bisa dilakukannya dari pada menikmati apa yang bisa ia lakukan. Tak ingin ambil pusing membuatku mencoba untuk menikmati kesendirianku.

Berangkat kerja adalah salah satu rutinitas yang selalu aku lakukan di setiap harinya, tentunya kalau libur mungkin aku masih di tempat tidur saat pagi. Aku biasanya kalau berangkat kerja menggunakan sepeda motor, kendaran yang aku pakai bertipe matic dan bahan bakarnya ramah di kantong tentunya. Jam setengah delapan pagi biasanya aku sudah di atas motor dan bersiap untuk pergi, terkadang aku pun bisa ke siangan karena telat bangun dan karena itu aku bisa menjadi pebalap dadakan untuk mengejar waktu.

“Bu aku berangkat dulu ya!” aku berpamitan kepada Ibu yang masih ada di dapur memasak, hari itu aku cukup terburu-buru karena semalam aku tidur telat dan membuatku bangun ke siangan. Aku tak bisa tidur karena cukup lama memikirkan tentang laki-laki yang aku temui kemarin karena perilakunya cukup mengganggu hingga terngiang di dalam kepalaku, aku juga sempat berpikir kalau itu adalah tanda awal dari sebuah perasaan. Tentunya aku mencoba menangkal perasaan dan pikiranku itu, terlebih lagi mungkin kita tak akan ketemu lagi karena aku tak tahu siapa dia dan dia tidak tahu siapa aku. Namun ketika aku memikirkan semua itu lagi, itu seperti sebuah awal dari sebuah kisah dalam film romansa atau bahkan genre komedi romantis dalam drama Korea. Itulah yang terjadi dan yang aku pikirkan semalaman hingga aku tak bisa tidur.

“Lho … kok gak sarapan dulu, Sya? Ini sudah Ibu masakin!” Ibu terlihat kesal karena aku tak sarapan, tentu aku tak sempat sarapan jika aku sendiri hanya sempat untuk cuci muka saja. Sebenarnya aku sendiri subuh sudah bangun, tapi karena kantuk yang sangat berat membuatku kembali memeluk guling yang lembut.

“Udah nanti aja di kantor! Assallamualaikum!” aku mengucapkan salam sembari pergi dengan motorku menuju jalan raya yang ramai, meskipun dengan dandanan yang masih berantakan.

 “Wallaikummsallam!”

Sementara itu Bapak sendiri sudah berangkat kerja dari jam 6 pagi karena pekerjaan dia adalah seorang tukang kebun di salah satu sekolah yang ada di dekat rumahku. Beliau sendiri sudah menekuni pekerjaannya sejak ia masih muda, bahkan mungkin sudah lebih dari lima belas tahun ia sudah bekerja di sekolahan tersebut.

Rumahku sendiri memang tak terlalu jauh dari jalan raya dan jalan utama, tapi suara dari lalu-lalang kendaran tak terlalu menggangu karena tertutup oleh rumah yang lainnya. Ibarat kalau ada perang mungkin rumahku masih bisa bertahan dari serangan pertama musuh karena sudah ada tembok pelindungnya secara tidak langsung. Gaya rumahku sendiri terbilang sederhana dan tak nampak kemewahan dari luarnya, mungkin saja karena rumah itu sendiri adalah warisan dari kakekku,  gaya jadulnya masih nampak terlihat jelas. Orang yang melihatnya dari ke jauhan sendiri mungkin akan mengira kalau itu adalah rumah Joglo, tapi sebenarnya itu tak seutuhnya benar karena sudah ada perubahan dimana-mana.

Perjalanan berangkat kerja di pagi hariku sebenarnya tak terlalu jauh, mungkin itu sekitar tiga puluh menitan. Tentunya jika jalanan tak ada hambatan sama sekali, aku rasa kemaceran bukan hanya terjadi di Solo saja, karena semua masalah itu juga terjadi di seluruh kota yang ada di dunia.

Lihat selengkapnya