Salah satu hal yang paling membuatku jengkel ketika masih sendiri adalah ketika aku mendapatkan sebuah surat undangan dari teman, entah itu teman sekolah dulu ataupun teman kerja. Mungkin bagi yang mengirim surat adalah sebuah kebahagian yang tak terkira, tentunya dia akan merasakan seperti itu karena ia yang akan mengadakan pesta. Bukan soal aku harus datang atau tidak, tapi bagaimana aku akan menghadapi pembicaraan yang akan membuatku jengkel nantinya, entah itu di rumah ataupun saat aku berada di pesta tersebut.
“Nih undangan buat kamu, acaranya lusa hari minggu. Jangan lupa datang ya kak!” Teman kerjaku yang bernama Arini akan menikah pada akhir inggu, dia sendiri lebih muda lima tahun dariku. Aku pun hanya bisa tersenyum ketika menerima undangan tersebut karena aku tak mau berjanji datang.
“Tuh lihat! Junior mu aja udah pada nikah, kenapa kamu gak cepet-cepet nikah!” hanya satu orang yang bisa berbicara seperti itu kepadaku di kantor, dia adalah Mbak Retno rekan kerjaku yang mejanya tepat di sampingku. Mbak Retno sendiri adalah seorang wanita yang sudah memiliki dua orang anak dan suaminya adalah seorang guru di salah satu sekolah swasta di kota, bisa di bilang ia kerja karena ingin mandiri dan uangnya bisa buat memenuhi keinginannya sendiri tanpa memberatkan sang suami.
“Tentunya itu tak semudah membalik tempe goreng di wajan Mbak!” aku menjawabnya dengan sarkas karena aku merasa kesal dengan sindiran dari Mbak Retno itu.
“Kenapa harus repot-repot nikah, lebih baik jangan dulu. Tunda saja selama mungkin, aku aja yang nikah muda udah cerai sekarang.” Laila adalah seorang janda muda yang harus bercerai dengan suaminya karena masalah orang ketiga dan ia seperti trauma untuk menjalin suatu hubungan lagi.
“Maaf kalau bisa aku pengin segera nikah aja Mbak! Bisa-bisa aku jadi perawan tua, Mbak enak udah pernah ngerasaain. Aku kan belum pernah sama sekali!” aku juga menjawab pernyataan dari Laila yang meremehkan tentang pernikahan. Aku tahu semua orang memiliki persepsi masing-masing tentang menikah, namun terkadang itu juga dapat menyinggung satu sama lain dan untuk itu aku akan yakin pada keinginanku sendiri.
“Udah lanjutin kerjanya, nanti supervisor marah lho!” Mbak Retno menghentikan obrolan kami bertiga, kami pun melanjutkan pekerjaan hingga waktu pulang tiba.
Selain teman-teman kerja yang menggangguku dengan kata-kata tentang pernikahan, aku pun harus bersiap untuk menghadapai badai kata lagi yang akan datang dari keluargaku. Untuk itu terkadang aku berusaha untuk menyembunyikan surat undangan yang aku peroleh agar tak memicu bom kata-kata dari kedua orang tuaku tersebut.