Pembohong Ulung

Rizal Syaiful Hidayat
Chapter #5

Teman itu seperti sebuah oase di antara gurun yang sangat luas

Tentunya bekerja bukanlah satu-satunya yang harus aku lakukan dalam kehidupan ini, menikmati kehidupan juga aku lakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang aku lakukan adalah dengan mencari teman yang dapat menampung segala air mata yang kukeluarkan, meskipun air mata kesedihan ataupun air mata kebahagiaan. Bisa dibilang itu adalah salah satu sifat dasar manusia yang mereka tidak dapat bertahan hidup sendirian atau bisa dibilang mereka butuh teman bicara.

“Mau kemana kamu Sya?” Bapak bertanya ketika aku sudah memegang setang sepeda motorku dan bersiap untuk pergi.

“Mau pergi cari angin!”

“Sama siapa? Laki-laki atau cewek?” aku terkadang juga jengkel ketika Bapak bertanya seperti itu dengan wajah seriusnya.

“Sama temen … cewek!” aku menekankan kata ‘cewek’ karena aku sudah merasa sangat jengkel. Lantas setelah itu aku pergi menuju rumah temanku yang berada di daerah perkotaan, mungkin bagi kebanyakan orang jika harus menghabiskan malam minggu akan bersama pasangan Sedangkan bagiku sendiri itu adalah menghabiskan waktu bersama teman dekatku.

***

“Ma tolong kupasin ini!” si Chika kecil meminta mamanya untuk mengupaskan buah apel yang aku bawa sebagai buah tangan.

“Iya sebentar Mama ambil pisau dulu ya!” Lena menuruti permintaan anak perempuannya yang lucu itu. Lena adalah teman dekatku satu-satunya yang aku miliki, kami sudah berteman sejak di bangku SMA dan hingga sekarang kami berumur hampir 30 tahun. Aku sering main ke rumahnya untuk sekadar ngobrol dan bahkan mungkin menginap, mungkin jika akan ada yang menganggap aku menggangu orang yang sudah berkeluarga. Namun itu malah sebaliknya karena aku menemani Lena yang harus ditinggal suaminya merantau keluar negeri untuk bekerja, jadi secara tidak langsung kami saling menghibur satu sama lain.

“Gimana kabarmu Len?”

“Alhamdulilah baik-baik saja! Kamu sendiri gimana? Udah ada yang kepincut belum?” tak tahu kenapa kalau teman yang berbicara seperti itu justru membuatku tersenyum. Mungkin itu memang berbeda karena kita tahu kalau teman kita itu sedang bercanda dan tidak ada keinginan untuk menekan kita.

“Sebenarnya banyak! Tapi untuk saat ini aku hanya mengidentifikasinya sebagai sekumpulan nyamuk yang haus akan darah manisku.” Kami pun tertawa bersama ketika mendengar perkataanku tersebut, aku pun mengobrol bersama dengannya hingga semalaman dan bahkan aku tertidur di sana.

“ Bapakmu nelpon Sya!” Lena terlihat agak gugup ketika mengetahui kalau Bapak menelponnya.

“Yaudah tinggal bilang aku tidur sini! Kan biasanya juga gitu!” aku memang tidak ngomong ke Bapak pergi kemana dan dengan siapa aku, mungkin karena aku sudah terlalu jengkel dengan kata-katanya.

“Ya Assallammualaikum Pakdhe!” Lena menjawab telpon dari Bapak dengan nada sopan. “Iya Pakdhe, Arsyana ada di sini! Ya kemungkinan dia mau menginap Pakdhe! Ya … baiklah … wallaikummsallam!” Lena pun menutup telpon dari Bapakku tersebut dengan raut wajah anehnya dan tertawa beberapa detik kemudian.

Lihat selengkapnya