Pembohong Ulung

Rizal Syaiful Hidayat
Chapter #7

Pria impian

Kejadian tersebut membuatku tertegun dan tak bisa berkata apa-apa, sementara itu mukaku yang berada di samping telinganya membuatku merasakan hembusan nafasnya dan membuat diriku menikmati peristiwa tersebut. Terlebih lagi ia mengatakan sesuatu yang membuatku merinding dalam situasi tersebut “Sekali lagi namaku adalah Arto Wiratmo yaitu seorang yang bisa dibilang wirausahawan yang sedang mencari seorang pendamping dan aku rasa tertarik denganmu dengan artian aku ingin bertemu denganmu lagi lain waktu, untuk itu aku rasa kau harus menyimpan ini!” ia memasukan sebuah kartu nama ke dalam tas jinjingku dan ketika mau melepaskan diriku darinya, dia malah kembali menahan diriku. “Tunggulah sebentar aku hanya ingin memeluk sesuatu yang cantik dan mungkin akan menjadi sesuatu yang berharga dalam hidupku.” Seketika jantungku langsung merespon dengan degupan kencang dan aku seperti terpanah dengan kata-katanya itu.

Pada akhirnya setelah beberapa lama ia pun membebaskanku dari pelukanku, aku sendiri berusaha untuk tetap berdiri tetap tegak saat itu karena itu pertama kalinya di perlakukan oleh seorang pria sepertinnya. “Namaku adalah Arsyana Kenes, seorang pegawai di salah satu telekomunikasi! Senang bertemu denganmu Arto!” aku berusaha menampilkan muka tak peduli kepada Arto karena aku tak ingin memperlihatkan diriku yang sudah terpedaya olehnya, meskipun begitu aku benar-benar senang dapat bertemu dengan pria sepertinya. Sebuah acara pernikahan yang sebenarnya tak ingin aku hadiri ternyata membuatku mendapatkan sesuatu. “Maaf temanku sudah menunggu di sana, aku harus pergi!”

“Baiklah sampai jumpa lagi, jangan lupa hubungi aku ya!” ia mengatakannya dengan senyuman dan itu membuatku kembali tak sadar beberapa saat, setelah memukul wajahku sendiri aku baru sadar lalu lekas pergi ke tempat Mbak Retno.

“Hey ngapain aja kamu sama laki-laki itu, kalian ngobrol apa aja? Kok sampai peluk-pelukan segala … tadi aku melihatnya, hati-hati lho jangan berhubungan dengan sembarangan pria!” Mbak Retno lantas menasehatiku saat aku tiba di depannya, meskipun begitu aku masih terpesona dengan pria tersebut.

“Maaf aku cuman ngobrol sebentar, itung-itung usahalah Mbak!” bercanda tentang apa yang aku lakukan agar Mbak Retno tidak terlalu marah.

“Yaudah kalau begitu semangat ya!” tersenyum sinis kepadaku dan kami pun memutuskan untuk pulang dari acara tersebut. Saat pulang aku dikejutkan dengan lambaian tangan dari Arto dan ia juga membuat tanda dengan gerakan tangan untuk menelponnya nanti.

***

Hari sudah cukup sore ketika aku tiba di rumah dan aku langsung menuju kamarku, tak ada orang di rumah karena kelihatannya Ibu dan Bapak sedang keluar. Tanpa menghapus make up yang ada di wajahku aku langsung tiduran sebentar di atas ranjang, aku teringat kembali dengan kejadian yang Menimpaku tadi sambil membolak-balikan kartu nama yang diberikan oleh Arto sebelumnya.

“Nomernya kosong delapan… CEO, Jajan Online!” aku membaca kartu nama tersebut dengan cukup serius sembari membayangkan Arto, bahkan aku sampai berkhayal tentang bagaimana aku akan hidup bersamanya nanti meskipun aku baru kenal beberapa jam yang lalu.Mungkin itulah yang bisa disebut sebagai sindrom perawan tua, langsung kelepek-kelepek ketika mendengar perkataan manis dari seorang pria.

“Ma! Kamu mau makan apa untuk ulah tahun pernikahan kita hari ini?” aku melihat Arto berbicara padaku dan aku merasa senang saat mendengarnya berbicara seperti itu.

“Itu bakso yang besar!”

“Mama pinter ya pilih yang paling besar, nih buka mulutnya.” Aku pun memakan suapan dari Arto, namun sayang aku malah tersedak dan membuatku terbangun dari mimpiku. Saat itu hari sudah hampir malam dan kedua orang tuaku sudah pulang ke rumah, lalu aku keluar ke kamar mandi untuk membersihkan diriku. Mimpi tersebut adalah sebuah penyakit yang menurutku timbul karena diriku yang sudah lama menjomblo dan tak memiliki pasangan, aku pun melanjutkan sisa waktu pada hari itu dengan pikiran penuh lelaki bernama Arto tersebut.

***

Ke esokan harinya ketika di kantor dan saat makan siang, aku dan teman-teman kerjaku kembali membicarakan masalah pernikahan yang kamu hadiri kemarin. “Bukankah pernikahan kemarin itu sangat megah sekali dan makannya enak-enak pula.” Mbak Retno mengatakan hal tersebut dengan penuh rasa kagum, padahal aku sendiri sudah lelah mendengarnya sejak kemarin.

“Apa manfaatnya jika menggelar pernikahan mewah? Palingan cuman buat pamer dan lagi segala harta itu gak dibawa mati, bukan begitu Sya?” Laila bertanya pendapatku dan seolah-olah ia mencari pembenaran akan pernyataannya tersebut.

“Baiklah pertama itu memang mewah dan mungkin agak berlebihan bagi orang sepertiku, namun mungkin kedua mempelai menganggap itu sebagai momen sekali seumur hidup dan mungkin karena itu mereka jorjoran.” Berusaha mengungkapkan pendapatku secara netral, karena sebelumnya pernah terjadi hal yang tak mengenakan ketika aku mendukung salah satu dari mereka. Aku tak mau dihantui saat tengah malam dengan telpon tidak penting oleh si istri Retno yang blak-blakan dan aku tak mau diganggu dengan seratus pesan singkat oleh janda pendiam seperti Laila, karena itu sungguh-sungguh sangat mengganggu hingga aku mengalami gangguan tidur beberapa hari setelah itu.

“Ya memang benar sih, mungkin kedua mempelai berpikiran seperti itu. Namun aku tak suka hal-hal yang berlebihan seperti itu.”

Lihat selengkapnya