Setelah kami selesai makan suasana yang sebelumnya cair menjadi sangat canggung kembali. Di pikiranku terlintas bahwa mungkin dia merasa tak nyaman setelah melihat reaksiku saat mendengar bahwa ia masih anak kuliahan.
“Karena kamu sudah tahu siapa aku, jadi gak enak kalau gak panggil Mbak! Pasti gak nyaman ya, karena aku memanggilmu begitu?” ia mengatakan apa yang ia rasakan kepadaku dan tentunya itu ungkapan rasa bersalahnya. Namun aku kira itu juga bukan hanya salah dia, karena aku sendiri terlalu terbuai dengan cara bicaranya. Aku rasa tak perlu berharap banyak dari dia dan aku putuskan untuk mengatakannya saat itu juga.
“Mungkin ini terdengar seperti sebuah alasan, namun aku ke sini memang berharap bahwa pertemuan ini bisa membuahkan hasil untukku. Sekarang setelah mengetahui siapa yang sebenarnya kau, mungkin aku hanya akan merubah sedikit perspektifku.”
“Makasih Mbak, udah jujur. Tapi memang seperti aku katakan dalam telepon kemarin bahwa aku benar tertarik padamu.” Dia kembali menegaskan hal yang ia katakan sebelumnya dengan sangat percaya diri, aku pun sedikit luluh dengan kata-kata tegas yang ia lontarkan. Aku berusaha berpikir kembali tentang kami berdua ke depannya, niatku yang jelas dari awal mungkin akan sedikit membuatnya gentar.
“Sekarang aku bukan pada umur untuk memulai sebuah hubungan tak pasti, aku mencari orang untuk tempatku bergantung seumur hidup. Apakah kau bisa mewujudkannya ? Aku rasa tidak!”
“Tiga kali! Ketika seseorang bertamu ia setidaknya mengetuk pintu tiga kali, jika tak ada yang menjawab maka ia sebaiknya pergi! Bisakah kau beri kesempatan aku untuk setidaknya mengetuk pintumu sebelum aku pergi?”sepertinya ia mengatakan bahwa ingin berkencan setidaknya tiga kali lagi sebelum aku benar-benar membuat keputusan dan mendengar hal tersebut aku merasa itu pantas untuk dilakukan, berpikir sejenak aku pun membuat keputusan.
“Baiklah … dua kali lagi! Dan tempat ketemuan aku yang milih!”
“Tinggal dua kali? Aku tak mengira Mbak yang satu ini perhitungan sekali, tapi baiklah aku akan mencoba mengikutinya.” Ia menjawab perkataanku dengan senyum lebar di wajahnya dan tanpa disangka aku juga ikut terbawa suasana. “Kalau begitu bagaimana kalau habis ini kita nonton film?”
“Maaf aku rasa tak bisa, ini sudah terlalu larut untukku!”
“Benarkah? Kalau begitu aku rasa kau memang harus pulang, maaf aku tak memikirkannya!” Dengam sopan ia menuruti permintaanku, untuk pria di usianya aku merasa dia sangat pengertian. Sebenarnya ia juga menawarkan untuk menemaniku hingga sampai rumah, namun aku menolaknya karena kurasa itu bukan waktu yang tepat. Kami berdua pun berpisah di depan Café, aku sedikit terkejut saat itu karena kendaraan yang ia pakai adalah mobil yang cukup mewah.
“Wah mungkin dia anak orang kaya?” aku berbicara sendiri sambil membayangkan Arto yang memiliki segalanya dan mampu menghidupiku, bahkan sampai ke acara pernikahan yang mungkin akan aku gelar bersamanya. Setelah beberapa saat aku sadar kembali kalau dia masih muda, darahnya masih menuntunnya untuk ke mana saja dan ia masih belum bisa menerima tanggung jawab sebagai suami.
Sebuah mobil tiba-tiba memotong jalanku saat berada di perempatan sepi dan untungnya aku berhasil mengerem, tapi aku juga terjatuh karena tak bisa menopang berat motor yang miring ke kiri. Tentunya mobil tersebut tak lepas dari makianku, meskipun aku masih dalam posisi terjatuh di jalan. Terkadang bila ada yang membuatku jengkel maka aku akan mengeluarkan segala bentuk makian yang ada. Dosa? Aku lebih memilih hati yang lega, setelah itu baru minta maaf.
Aku berusaha bangun dari jalan, namun itu sedikit sulit karena kaki kiriku yang tertimpa badan motor yang berat.“Kenapa Mbak?”seorang yang sepertinya berprofesi PNS membantuku, sehingga aku bisa lekas bangun dan .
“Makasih Mas udah dibantuin.”
“Kalau begitu hati-hati di jalan Mbak.” setelah membantuku ia langsung pergi meninggalkanku, sayangnya aku tak benar-benar melihat siapa dia, nametagnya pun tak terlihat olehku karena aku yang masih bingung dan shock. Aku rasa ia adalah orang aneh karena bagaimana seorang PNS yang masih memakai seragam baru pulang jam segitu, mungkin ia sedang ada masalah dengan keluarganya atau mungkin juga dia sangat mencintai negaranya sampai rela lembur.
***
Sampai rumah suasana sudah nampak sepi, memang kedua orang tuaku selalu tidur lebih awal dan mungin itu karena umur mereka yang sudah tua. Ternyata itu hanyalah anggapan yang tak benar kala itu , aku agak terkejut ketika sepasang suami istri yang melahirkanku masih terjaga di depan TV dan mereka seperti menunggu doorprize yang tak pasti. “Wuih … udah pulang Sya?” dengan mata masih segar Bapak menanyakan kepulanganku, namun secara tersirat lebih ke kata tanya ‘Bagaimana’ dan di wajahnya itu tergambar jelas.