Pembohong Ulung

Rizal Syaiful Hidayat
Chapter #11

Kencan penentuan

Tiba-tiba ponselku berdering singkat, ternyata itu pesan dari Arto. “Bagaimana kencan selanjutnya Mbak?” aku ingin mengabaikan pesan tersebut, namun di sisi lain karena aku sudah berjanji maka seharusnya aku menepati janji tersebut.

Setelah mempertimbangkannya aku pun mengetik kata-kata balasan untuk Arto, “Bagaimana kalau hari Minggu ini kita pergi ke taman bermain?” entah kenapa saat itu aku ingin pergi ke taman bermain, mungkin aku juga ingin sekadar menghibur diri meskipun harus bersama orang yang membuatku kurang nyaman.

“Baiklah nanti aku jemput di mana?” saat itu aku beranggapan bahwa mungkin ia ingin mencari kesempatan dalam kesempitan, jadi aku langsung menolak permintaannya tersebut dengan kata-kata halus tentunya. Jam 10 pagi aku putuskan untuk bertemu di taman bermain dan ia pun menyetujuinya.

***

Malam minggu penuh kegelisahan pun tiba, mungkin haruskah aku menolaknya di esok hari adalah hal yang aku pikirkan karena pengaruh dari orang-orang yang ada di dekatku. Namun di sisi lain aku masih ingin menepati janji untuk kencan dengannya satu kali lagi, jadi kupikir sebaiknya setelah kencan esok hari berakhir aku harus membuat keputusan.

“Mbak …?” Arto melambaikan tanganya dari ke jauhan saat melihatku menunggu duduk di atas bangku taman, aku membalasnya dengan senyuman.”Nunggu lama ya Mbak?” itu adalah kalimat yang aku sering dengar dalam percakapan di sebuah film romansa atau bahkan drama Korea.

Tentunya aku harus menjawab dengan kalimat, “Enggak tadi juga baru sampai kok!” agar tak canggung dan itulah awal kencan kami di minggu pagi yang cerah itu.

Suasana di taman hiburan sendiri sangat ramai hingga berdesak-desakan di beberapa titik, mungkin jika anak kecil tanpa pendamping akan tersesat di sana. “Lho apa ini?” tanyaku dalam hati ketika Arto memegang tanganku untuk melewati kerumunan, entah kaget karena tak nyaman atau justru tersentuh karenanya.

“Maaf aku menggandeng tangan Mbak tadi,”dengan terengah-engah ia berbicara kepadaku.

“Iya, jangan diulangi lagi!” meskipun aku terlihat marah di depannya, rasa senang sedikit menghinggabi perasaanku saat itu. Ketika kami berada di depan wahana Roller Coaster, ia berusaha mengajakku untuk naik bersamanya. Terdengar teriakan orang-orang yang naik wahana tersebut dan bahkan aku melihat beberapa orang yang telah naik wahana tersebut muntah di samping tong sampah. Aku sebenarnya adalah orang yang punya pikiran ke mana-mana dan karena itu aku selalu mudah untuk berpikiran yang tidak-tidak, apalagi setelah melihat dan mendengar orang-orang yang telah naik wahana tersebut.

“Mbak takut ya?” setelah mendengar perkataan Arto tersebut aku langsung memasang muka datar, tentunya aku tak ingin terlihat lemah dari orang yang lebih muda dariku.

“Gak … ayo kita naik!” dengan langkah yang terasa berat akhirnya aku menuruti keinginan Arto dan setiap ia memandangku aku berusaha untuk memasang muka tak acuh agar ia tak menyadari rasa takutku.

Lihat selengkapnya