Pembohong Ulung

Rizal Syaiful Hidayat
Chapter #12

Seperti bayangan di siang hari.

“Bisa hari kamis sore kita ketemu?” itulah kalimat yang aku tulis dalam pesan yang aku kirim kepada Arto dan beberapa saat kemudian ia menerima ajakanku tersebut. Kemarin aku sendiri mungkin ingin menikmati keadaan dan suasana yang ada, jadi belum ada pikiran untuk menegaskan. Semoga nantinya Arto tak salah paham dengan perkataanku, namun aku harus siap dengan kemungkinan terburuk.

“Mbak mau ketemu di mana?”

“Gimana kalau Café yang kemarin?” jika itu akhir maka aku ingin mengakhirnya di tempat aku memulainya,  karena itu akan mencegahku untuk membuat kenangan indah lainnya.

Aku merasa harus menyiapkan kata per kata dan kalimat per kalimat untuk mengatakan niatku kepadanya, tentunya yang tak menyebabkannya menjadi marah atau tersinggung Arto nanti. “Apakah kau benar-benar ingin menikahiku?” kesannya seperti orang yang kebelet nikah. “Apakah kau benar-benar serius denganku?” aku rasa itu agak kaku dan terlalu serius. Mungkin yang paling cocok ini “Bagaimana hubungan kita ke depannya?” karena itu terdengar sopan dan tak terlalu memaksa.

Jam empat sore akhirnya kami berdua bertemu di Café, aku datang terlebih dahulu dan setelah beberapa menit ia baru datang. Kami memesan dua minuman sebagai teman mengobrol, secangkir Kopi hitam berada di depannya untuk menyembunyikan rasa malunya dan sedangkan aku yang penuh kegelisahan ditemani oleh segelas jus Jeruk untuk mengalihkan indra perasaku. Saat itu kami diam sesaat tanpa berbicara sama sekali dan bahkan untuk saling bertatap muka pun kami tak berani. Terlihat seperti dia malu karena perkataannya kemarin dan sedangkan aku ragu untuk bertanya.

“Gimana kabar Mbak?” Arto memulai percakapan dengan kalimat yang terdengar canggung, aku mencoba memaklumi hal tersebut karena aku juga merasakan hal yang sama.

“Allhamdulilah baik, kamu sendiri bagaimana?” sungguh percakapan canggung dari dua orang tak harus berkata-kata. Aku berusaha untuk memberanikan diri mengatakan apa yang ada di hatiku saat itu.

“Soal kemarin yang aku katakan, Mbak gak usah ambil pusing! Kalau memang gak mau dijawab ya gak apa-apa.” Sepertinya ia takut kalau aku benar-benar menolaknya saat itu.

“Aku rasa itu bukan hal yang patut dipusingkan … itu adalah hal yang patut ditunggu dan dipikirkan!” aku rasa jawaban seperti itu cukup untuk mengartikan kesediaanku, namun dengan pertimbangan yang matang. Arto terlihat tercengang setelah mendengar perkataanku tersebut, ia yang tadinya tertuduk pun berani menatapku dengan senyum di wajahnya. Aku rasa setelah itu pembicaraan kami berlanjut ke area serius, meskipun begitu kami berdua berusaha untuk tetap santai dalam menanggapi satu sama lain.

Lihat selengkapnya