“Sya bisa tolong ambilin itu.” Arto menyuruhku untuk mengambil botol kecap yang ada di sampingku, setelah hubungan kami semakin dekat ia mulai memanggilku dengan nama panggilanku dan bahkan kita juga berbicara dengan bahasa yang santai seolah-olah teman sebaya. Tentunya ia sudah meminta izin kepadaku terlebih dahulu dan aku pun menyetujuinya, karena aku juga tak mungkin membiarkan dia memanggilku terus dengan ‘Mbak’.
“Jangan kebanyakan, pahit nanti malahan!”
“Kok bisa? Apa gak justru malah jadi manis?” dia menunggu candaanku dengan perkataan sinisnya tersebut.
“Lidah juga kesal jika harus merasakan hal yang sama, bukan begitu?” Arto pun tersenyum tipis seolah-olah terpaksa dan ia juga menganggukan kepalanya seolah-olah ia mengerti perkataanku tersebut. Aku mengatakan hal seperti itu bukan tanpa alasan, perlakuan manis yang aku rasa kelewat batas terjadi padaku. Sejak hubungan Arto dan aku semakin dekat, ia menunjukan perlakuan yang sangat berbeda. Menjemput dan mengajakku untuk makan siang bersama terlihat seperti rutinitasnya, membelikan aku sebuah hadiah setiap ketemu membuatku merasa seperti seorang Ratu dari cerita Putri salju dan membayar semuanya saat kita berkencan membuatku bertanya-tanya dari mana seorang mahasiswa mendapatkan uang sebanyak itu. Awalnya aku berusaha bersikap positif, namun lama kelamaan hati pun menjadi tidak nyaman dengan perlakuannya tersebut.
“Ya kecuali kala itu ada maunya! Seperti untuk menipu lidah jika ingin minum jamu yang pahitkan biasanya juga diberi larutan gula.” Sebuah analogi yang kulontarkan dimaksudkan untuk menyindir Arto.
“Betul memang harusnya begitu, kau harus memperlakukan sebaik mungkin seseorang jika kau ingin mengambil hatinya dan membuatnya menuruti semua perkataanmu!”
“Tapi seharusnya kau mengatakan maksudmu sejak awal, jadi tak ada kesalah pahaman, aku tidak suka dengan orang yang penuh tipu muslihat seperti itu!”
“Dengar! Jika tak suka kenapa kau juga tak bilang dari awal dan membuatnya jadi seperti ini!” Suara Arto mulai meninggi dan ia terlihat mulai marah, tapi entah kenapa saat itu aku tak mau mengalah.
“Bukan aku gak bisa nolak, ya kali masak suruh balikin kerudung ke kamu! Emang kau mau memakainya?”
“Kan gak banyak dan gak hanya kerudung lho hadiahku!” aku sangat kesal ketika dia menyinggung soal hadiah yang ia berikan, aku sangat benci ketika seseorang mengungkit apa yang ia berikan.
“Oh gitu ya? Maafkan aku kalau begitu, aku lupa kalau aku harus ketemu Supervisorku! Tolong habiskan satu mangkok bakso … pemberianmu ini!” aku langsung pergi meninggalkannya dengan rasa kesal, tapi ia juga sama nampak kesal dan tak menyesali perkataannya. Itu terlihat dari dia yang tak berusaha menghentikanku pergi, setelah kejadian itu aku tak mau menghubunginya terlebih dahulu karena aku tak merasa melakukan kesalahan.
***
Aku berusaha untuk menunggunya minta maaf terlebih dulu, namun setelah seminggu berlalu ia sama sekali tak menghubungiku dan bahkan untuk sekadar mengirim sebuah chat. “Lagi bertengkar ya sama pacar?” Laila menegurku saat melihatku sedang melihat layar hp.