Dering handphone mengalihkan perhatianku saat aku sedang mandi sesaat aku pulang kerja, berpikir itu adalah Arto aku pun segera mengangkatnya.Ternyata itu adalah Lena yang menelponku, saat itu pertama yang kudengar adalah sebuah tangisan lirih. “Kenapa kamu Len?” tanyaku padanya karena suaranya yang sangat mengkhawatirkan.
“Aaku … boleh minta tolong Sya?” keputusasaan terdengar jelas dari suara dan cara bicaranya, aku pun langsung menuruti permintaannya tersebut dan pergi ke rumahnya dengan secepat yang aku bisa. Setelah sampai di rumahnya aku langsung membuka pintu, aku sangat kaget ketika melihat keadaan rumah yang sangat berantakan. Terlihat Lena duduk di pojokan ruang tamu, lantas aku lekas menghampirinya untuk menanyakan apa yang sedang terjadi dan bagaimana keadaannya.
“Len kamu kenapa? Kok rumah sampai berantakan gini!” nada suaraku saat itu meninggi karena khawatir dengan kondisi Lena yang terlihat lemas dan tertunduk lesu.
“Sya suamiku punya wanita lain, dia pergi ninggalin aku!” Lena tak kuasa menahan tangisannya, setelah itu tiba-tiba ia pingsan. Aku yang sudah terlanjur panik akhirnya menghubungi ambulan untuk membawanya ke rumah sakit terdekat agar segera ditangani secara medis. Saat akan berangkat menggunakan ambulan aku baru sadar kalau aku tak melihat Chika dan karena itu aku memilih untuk menyusul setelah menemukannya. Aku mencari seluruh sudut rumah yang ada, jika tak menemukan Chika maka kemungkinan besar ayahnya membawanya.
Ketika aku akan meninggalkan rumah Lena, suara seperti barang yang jatuh menghentikan langkahku. Suara tersebut berasal dari barang jatuh yang berada di atas lemari dalam kamar Lena, ketika aku membukanya ternyata di dalamnya ada Chika yang menangis.
“Chika!” aku langsung memeluknya dan berusaha untuk menenangkan dia, aku tak tahu kenapa ia sampai harus dikurung di dalam lemari. “Apakah mungkin Lena yang melakukannya karena tak ingin Chika melihat kedua orang tuanya bertengkar hebat?” begitulah pertanyaan yang muncul dibenakku saat itu.
“Mama!” ia terus menangis sambil memanggil Mamanya, saat itu aku berharap dia tak melihat pertengkaran orang tuanya karena itu akan sangat mempengaruhinya nanti.
“Iya ayo kita pergi ke Mamamu!” aku bergegas ke jalan dan memanggil taksi untuk kami berdua berangkat ke rumah sakit yang dituju oleh ambulan Lena. Perjalanan yang aku butuhkan untuk sampai ke rumah sakit tersebut sekitar dua puluh menit dan saat itu Chika masih tak mau berhenti menangis, sesampainya di sana aku langsung pergi ke meja administrasi untuk menanyakan di mana Lena.
“Maaf Suster, pasien yang baru masuk bernama Lena Kuswandani di mana ya?”
“Ada di ruang UGD, ibu lurus saja nanti ada tandanya!”
“Maaf Sus … bisa tolong cek keadaan anak ini !” Aku minta Suster untuk membawanya ke Dokter agar mengecek keadaan Chika karena melihat apa yang ia lalui tadi dan ia sendiri tak berhenti menangis. Saat aku akan melepaskan Chika dari tanganku, ia malah menangis dengan kerasnya hingga menyedot perhatian pengunjung yang lain.
“Cup … jangan nangis nanti tante mau jemput mamamu, kamu sama Suster dulu ya?” Walau masih menangis aku terpaksa meninggalkannya untuk mengecek Lena terlebih dahulu. Saat sampai di ruang UGD Lena terlihat sudah sadar, walaupun ia harus memakai infus dipergelangan tangannya dan ia terlihat linglung.
“Sya?” ia menyapaku dengan suara yang lirih dan itu sedikit membuat hatiku sakit.
“Kau ini kenapa? Apa yang terjadi ?” aku hanya bisa melihatnya tersenyum pahit melihat perkataanku tersebut, tiba-tiba matanya langsung terbelalak dan ia berusaha untuk bangun dari tidurnya.