Ajakan yang sedikitnya membuat hatiku tersentuh dan ditambah cincin yang membuatku merasa istimewa, tak mengubah niat awalku bertemu dengan dia. Dengan helaan nafas panjang aku berusaha untuk menjawabnya dengan sebuah pertanyaan kembali. “Aku ingin kau menjawab pertanyaanku dulu sebelum aku menjawab ajakanmu, siapa kau?”
“Apa maksudmu, aku Arto Wiratmo, orang yang akan menjadi suamimu, bukan begitu? Dan bukannya aku sudah cerita semuanya!””
“Bukan itu yang ingin aku dengar!” aku sedikit meluapkan amarahku agar dia tahu apa maksudku, ternyata dia malah tertawa mendengarku seperti itu.”Kenapa kau tertawa?”
“Sialan, kau sudah mengetahuinya ya? Seharusnya aku menyembunyikan itu lebih baik lagi!” Arto tertawa seperti orang gila saat itu, itu adalah reaksi yang tak aku harapkan.
“Kenapa kau tertawa? Bukankah kau seharusnya memberi alasan kepadaku atau setidaknya kau menyangkalnya!”
“Kenapa aku harus menyangkalnya? Bukannya kau ingin tahu siapa aku? Dan itulah aku!”
“Siapa wanita itu?”
“Ternyata kau juga sudah pernah melihat salah satu pelangganku ya?” dia tertawa cukup keras setelah selesai bicara dan itu menarik perhatian pengunjung yang lain, “Ooups … maafkan saya!”
“Pelanggan kau bilang? Ternyata kau orang seperti itu ya, jangan harap aku menjawab ajakanmu, bicara denganmu saja tidak sudi aku!” aku minum air yang ada di gelasku dan berdiri di hadapannya, “Aku harap kita tak pernah bertemu lagi!” aku pergi keluar Café dengan terburu-buru dan entah kenapa yang seharunya aku marah serta memakinya, justru air mata yang keluar dari membasahi wajahku saat itu. Aku bahkan mulai terhuyung-huyung ketika berjalan di trotoar, hingga harus bersandar sebentar di sebuah tiang.
Kepala mulai pusing dan aku tak bisa melihat dengan benar, akhirnya aku memanggil sebuah taksi. Tak ingin keadaanku diketahui orang tuaku, aku merasa saat itu pergi ke rumah Lena adalah pilihan yang tepat. Untungnya Lena sendiri sudah pulang dari rumah sakit dan ia hanya di rumah bersama Chika.
***
“Assallammualaikum, Len?” aku mengetuk pintu dengan tubuh yang sudah terasa berat. Beberapa saat kemudian pintunya terbuka dan karena badan yang tak kuat akhirnya aku jatuh ke dekapan tangan Lena.
“Arsya kamu kenapa? Arsya … Sya?!” suara yang aku dengar mulai mengecil dan akhirnya kedua mataku tertutup rapat dan kegelapan mengisi pandanganku. Kenangan-kenangan indah bersama Arto kembali kepadaku dalam bentuk mimpi, aku melihat diriku sendiri tersenyum dalam mimpi tersebut. Semuanya berubah menjadi gelap dan aku melihat Arto tertawa bersama seorang wanita, aku merasa gila saat mendengar itu dan berusaha menjerit sekeras mungkin.
Aku segera terbangun dari mimpi burukku tersebut dengan nafas terengah-engah dan keringat membasahi semua tubuhku, aku melihat Lena dan Chika berada di sampingku dengan wajah khawatir.”Semuanya akan baik-baik saja.” Perkataan pertama yang diucapkan Lena dan ia langsung memelukku saat itu.
“Tante sakit ya?” dengan polosnya Chika bertanya kepadaku, “Tante boleh menginap di sini … terus nanti Chika obatin deh!” aku sedikit tersenyum melihat tingkah lakunya tersebut.