Pembohong Ulung

Rizal Syaiful Hidayat
Chapter #20

Sisi hitam

“Lena! Katanya suruh ambil barang COD an, tapi kok malah jadi gini?” aku menelpon Lena untuk mencari kejelasan tentang apa yang sedang terjadi, “Kenapa yang datang mas-mas bawa bunga!” aku berbicara ditelpon sambil duduk di sebuah meja yang ada di restoran, Sementara itu mas-mas pembawa bunganya duduk di depanku.

“Kamu udah terima bunganya kan?”

“Udah!” aku bingung dengan logika yang dipakai oleh Lena saat itu, benar-benar tertipu oleh akal bulusnya saat itu.

“Yaudah bereskan, mau apa lagi… ? Sorry aku sedang sibuk, nanti aja bicara di rumah!” telponku ditutup dengan cepat oleh Lena, terbersit dalam pikiranku bahwa itu adalah kencan buta yang terselebung.

“Len … Len … Lena …?” situasi menjadi sangat canggung ketika aku selesai menelpon,”Maaf tadi itu temanku.” Aku dan pria tersebut tak bicara satu kata pun beberapa menit kemudian, hingga makanan kami datang.

“Silahkan ini pesanan anda!” seorang Pramusaji meletakkan pesanan kami yang berupa dua set steak daging sapi dengan satu Jus jeruk untukku dan satu es coklat untuk si pria tersebut.”Selamat menikmati!”

Tanpa berkata apa pun pria asing tersebut makan dan tanpa menghiraukan aku sedikit pun, memotong dagingnya dan menyantapnya dengan lahap menggunakan garpu. Sebenarnya aku menolak untuk diajak makan, namun karena dia bilang itu perintah Lena jadi aku menurutinya tanpa ragu.

 “Kenapa pria ini, dia yang ngajak kok diem-diem aja!” dalam hati aku bergumam, karena tak ada yang aku lakukan dan dibicarakan maka aku juga ikut makan tanpa berkata apa pun padanya. Saat itu suasananya sangat unik sekali dan membekas di ingatanku, kami berdua seperti di dalam sebuah kubah kaca yang kedap suara. Aku merasakan sebuh kesunyian di dalam keramaian restoran saat itu.

Sesekali saat makan aku melihat ke arah pria pendiam tersebut dan itu membuatku teringat akan seseorang, “Bukankah dia PNS yang aku temui kemarin saat membuat KTP baru?” pertanyaan itu muncul dibenakku saat memperhatikan dia dengan seksama, aku pun juga ingin langsung bertanya kepadanya.

Garpu dan pisau tertata rapi di atas priringnya saat ia selesai makan, sementara aku sendiri masih berusaha untuk menyelesaikan santapanku. “Mas tolong tagihannya!” ia mengangkat tangan dan memanggil Pramusaji untuk meminta tagihan, setelah selesai membayar ia menungguku hingga selesai makan.

“Terima kasih atas makanannya.” Tentunya ketika aku ditraktir maka berterima kasih adalah hal yang lumrah. Setelah aku berbicara, ia menjulurkan telapak tangannya yang menengadah.

“tujuh puluh lima ribu?”

“Maaf apa?”

“Itu yang harus kamu bayarkan untuk makanan yang kau pesan.” Aku sangat kesal ketika mendengar hal tersebut darinya, bisa-bisanya ia ngajak wanita makan dan memintanya untuk membayar. Namun karena baru pertama kali bertemu, aku berusaha untuk menahan diri.

“Mas ini… maaf, tapi saya gak bawa uang segitu!” secara kebetulan saat itu dompetku ketinggalan di rumah dan aku hanya membawa uang bensin motor yang itu juga kebetulan ada di dalam jok. “Adanya cuman 15 ribu, itu pun untuk bensin nanti!” aku menunjukan uang yang ada di sakuku.

Lihat selengkapnya